Selasa, 20 Mei 2014




Puisi naratif dan cerita pendek seperti memiliki pesona saling terikat. Tak jarang cerpenis menulis puisi naratif yang apik. Atau penyair "selingkuh" berkarya membuat prosa liris, puisi prosa(atau prosa puisi barang kali). Hal ini wajar karena keindahan keduanya terletak pada, alur, latar, penokohan, dan? Lain-lain :D .

Permasalahan yang timbul biasanya dalam hal masalah kedetailan cerita. Kok gak ada kepiting? Kok bibir laut gak ada pasir? Kok ini, kok itu, serta banyak lagi "kokok-kokok" lainnya yang buat kita semua kesal(yang keritik kesal, yang dikeritik juga). Untuk itu harus kita pahami bahwa ketidakdetailan cerita ada beberapa penyebabnya. Salah satunya:


1. Jika cerita itu berangkat dari kisah yang benar-benar nyata bisa saja memang adanya seperti itu. Maka kalau gak ada diada-adakan itu namanya mengada-ada(untuk ukuran fakta).

2. Kalau memang seharusnya ada(kisah nyata) maka ini kekurang telitian atau kurang peka penulis terhadap objek yang ia lihat. Bisa saja menganggap kurang penting, padahal penting untuk menimbulkan kesan. Atau ketidakmampuan memadatkan cerita. Sehingga yang harus dijaga justru terbuang.

3. Jika kisah fiksi, maka ini kelemahan daya jangkau penulis. Penulis masih tanggung-tanggung merenungkan hayalannya.

4. Kita pembaca yang belum bisa menjangkau keunikan/keindahan tulisan tersebut.

Maka empat hal ini harus kita pahami, sebelum "melempar" tuduhan kepada penulis. Memang jika kita memasuki genre tulisan fiksi semakin kabur batasan fakta dan fiksi. Karena dalam karya fiksi, fiksi yang baik seolah fakta. Kisah nyata yang baik dibuat dengan gaya bahasa yang prosaik atau puitis(bahkan sastra tinggi) seolah itu fiksi atau dongeng belaka. Tambah runnyam jika fakta dan hayalan campur-baur demi estetika dan ketersampaian pesan. Banyak kisah fiksi diangkat dari riset, setudi, atau kumulatif pengalaman penulis tapi tetap masuk fiksi karena tidak ada cerita yang diangkat secara persis pernah dialami seseorang dari awal hingga akhir di kehidupan nyata.

Penulis dan pembaca memang harus memahami bumi yang ia pijak, fiksi atau non fiksi. Agar tidak ada standar ganda menerapkan kaidah dan penilaian.  Misalkan begini: "ah gak masuk akal, masak ganti tangan robot sering konslet, ya ganti tangan robot yang baru lagi lah!" Lantas penulis dengan mudahnya menjawab "itukan fiksi!" Contoh lain: "Alur, latar, dan penokohan gak hidup." Lalu dengan entengnya dijawab "itukan kisah nyata, adanya ya seperti itu."

Begini, kalau itu fiksi mengapa tidak sekalian berhayal lebih dalam? Ingat genre fiksi bukan cerita hayalan yang serta merta turun dari langit. Atau hanya cerita bohong dan rekaan, namun keindahan bercerita. Seni membuat yang irasonal seolah rasional atau "bisa masuk akal". Kalau kaidah estetika diterabas maka cerita gak lebih baik dari berita hoax dari SMS, blog, atau brosur. Ingatkan fabel waktu kecil? Itu cerita bohong tapi banyak yang tertipu dari turun-temurun kalau itu kisah nyata. Terlepas dari kontrofersi fabel, mengapa kita tak bisa membuat kisah menarik tentang manusia?

Lalu kalau fakta, buktinya mana? Mana saksinya? Lantas kita akan berargumen, "ini bukan artikel mas Barep!" Maka jelas, prosa entah fakta atau fiksi masuk kelompok genre tulisan fiksi. Maka bukan masalah fakta atau fiksi lagi, namun kedisiplian cerita dan keindahan cerita. Meminjam kaidah ilmu sejarah "bukan hanya apik menjajakan data, namun kepiawaian menyampaikan pesan" maka harusnya prosa yang true story harusnya lebih apik lagi bahasa ceritanya. Kalau tidak, gak akan lebih bagus dari coretan-coretan di gedung tua.

Kembali, keutuhan cerita sangat penting. Bukan soal fiksi atau fakta, namun logis dalam kacamata estetika. Utuh bukan soal klise, mengambang, atau absurd namun alur yang harmonis. Cerita mini, cerita pendek, puisi atau novel bukan soal panjang atau pendek yang harus kita lihat namun efektivitas dan cerita yang bernas.


Pernah terbit melalui Facbook Seluler (Lampung Timur, 5 Mei 2014)