Senin, 13 April 2015



STATEMENT UNTUK MUSLIMAH BERCADAR



Beberapa hari ini saya sering berhadapan dengan hal-hal yang berhubungan dengan cadar. Mulai dari kultum, pesan gambar, setatus, foto, atau semacamnyalah. Hingga membuat saya berpikir mungkin Allah menyuruh saya untuk memberi statement tentang hal tersebut. Statement yang sudah lama ada hanya masih takut diutarakan secara terbuka, tetapi kebenaran itu begitu terbuka. Di mana kebenraran sering dianggap asing, sedang kejahatan sering diwajarkan.

Masalah muslimah yang bercadar saya memiliki empat statement pokok di antaranya:

  1. Mereka Menutup Aurat
Seorang muslimah yang menjunjung nilai keshalehan wajib menutup aurat, jika merasa beriman dan bertakwa terhadap syariat Allah yang disampaikan rasullah. Definisi aurat bagi wanita telah menjadi kesepakatan umat Islam diantaranya seluruh tubuh kecuali bagian muka dan kedua dan tangan (dari pergelangan tangan). Muka dan tangan hal yang mendasar tentunya, masak bercadar tidak memakai kaus kaki, kan lucu(pernah saya temukan, mungkin yang bersangkutan lagi khilaf).

Jadi orang yang tidak menutup aurat(terutama yang mengaku muslim) tak pantas berkomentar tentang cadar, tetapi mesti merenungkan sudah banyak hidayah, peringatan, contoh para artis yang mendapat hidayah kok ya masih belum berhijab. Berjuta dalih ketika masalah ini disodorkan. Ini untuk yang mengaku muslim, lantas bagaimana yang non muslim? Hal yang perlu ditanyakan keimanan, kalau mencak-mencak, ya katakan laa kumdinukum waliadin.


  1. Sempurnakan Ibadah Baru Mengkritik
Bagaimana dengan yang menutup aurat tetapi belum sempurna(masih ada bagian yang terbuka, ketat, dan belum konsisten atau kadang masih dibuka)? Maka benahi dahulu ibadah dan hijabnya, jangan terlalu mengurusi hijab orang lain kalau belum berhijab dengan baik. Terlebih wanita bercadar tersebut tidak mengganggu hidup kita.

Kita sering mengkritik terhadap hal-hal yang kurang penting tetapi melupakan hal-hal yang mendasar. Prinsip utama kita mesti mendekatkan diri kepada Allah, apakah baru sebatas ucapan atau sudah amalan. Bagaimana keajekan dalam beribadah? Hal yang wajib abaikan karena alasannya masih berat, masih kotor, dan berjuta alasan. Sedang hal yang membawa dosa( berperasangka dan menggunjing) menjadi kebiasaan, tak lain karena mengasyikan. Kadang beralasan yang ibadah tekun gak jaminan akan berbuat baik terus(lalu memberi kasus-kasus kusus. Bahkan membanggakan diri yang imannya masih belepotan dan mengajak “gak usah terlalu tekun beribahnya, biasa saja”.

Seseorang yang menilai baik dan buruk berdasarkan peraduga pribadi telah membuat setandar hidup sendiri, bukan Al Quran dan Sunnah yang ia gunakan melainkan hawa nafsu dan bisikan setan. Seseorang yang mengkeritik orang yang konsisten beribadah dan membanggakan serta mengajak agar tak terlalu tekun beribadah ia telah membuat setandar sendiri. Renungkan, apakah dengan sikap semacam ini akan membawa keselamatan? Gairah mendapatkan keridhoan tertinggi(bertemu Allah dengan keridoan di Firdaus)  akibat alam bawah sadar cukup tinggal di emperan neraka, dan menyangka akan beberapa hari di neraka. Ia tak berpikir lama kelamaan menuruti hawa nafsu akan membawanya pada jurang kekekalan dineraka jika pada tataran puncak hawa nafsu dipertuhankan(banyak mengingkari ayat dan kebenaran). Nauzubillah.

  1. Muslimah yang Baik Menjunjung Akhlak Mulia
Sebagian yang lain dikalangan kita ada yang berhijab secara konsisten dan merasa sudah syar’i. Kalau hendak membangun akhlak yang mulia, berkhuznul uzon lebih utama dibanding berperasangka yang macam-macam. Secara umum yang saya pelajari tidak ada ulama yang mengharamkan seorang muslimah bercadar. Perdebatannya antara wajib, sunah dan boleh.

 Kalaulah hukumnya boleh maka kita tidak punya hak melarang, mencemooh, atau menggunjing. Karena itu merupakan kebebasan individu. Orang yang mengumbar aurat saja kita biarkan, mengapa yang bercadar justeru digunjing, apakah lebih berbahaya? Kadang sikap merasa risih tersebut muncul, masih wajar karena tak terbiasa bertemu. Hal yang diingat jangan jadikan untuk tak berinteraksi, kalau kita yang menghidar dahulu berarti kita yang tertutup. Kalau orangnya acuh, mungkin karena bukan mukhrim atau itu karakternya bukan cadarnya. Banyak kok yang bercadar bisa berbaur.

  1. Ensensi Menutup Aurat
Ensensi dari menutup aurat selain bentuk ketaatan dan identitas keislaman adalah sebagai perisai bagi wanita. Pelindung hati(masak berhijab gibah, hasat, dan hasut?), peredam perangai buruk(masak berhijab ingin dugen?), menghindari finah mata lelaki(masak berhijab menampilkan lekuk tubuh?). Mereka yang berhijab secara syar’i disertai dengan pembinaan akhlak khasanah lebih mudah menghindari fitnah dibanding yang berjilbab amburadul. Kebanyakan yang jilbabnya amburadul, suka narsis dan rentan untuk membongkar pasang hijab.

Lalu bukan berarti yang berhijab secara syari tidak rentan oleh fitnah. Masih banyak juga mengundang para kumbang menggoda, apa lagi dia memiliki paras ayu dan supel. Di tambah banyak hal lain yang tidak diperhatikan, misal masalah make up, suara, dan aksesoris. Initinya terlihat semakin cantik. Nah mereka yang menyadari hal ini memilih untuk bercadar. Tantangannya tantangnya lebih berar, bukan hanya cemoohan(itu bisa dianggap angin lalu) tetapi juga sikap alami yang dimiliki wanita untuk tampil cantik, dilihat, dan mendapat pujian.

 Maka mereka patut dikakan sebagai muslimah yang luar biasa. Mereka hanya menampakan kecantikan untuk yang halal terutama untuk suaminya. Coba kita renungkan, wanita yang berusaha berpakaian yang secantik mungkin ia hadirkan untuk siapa? Jika untuk dirinya saja, maka berpeluang akan tumbuhnya benih-benih ujub(kagum terhadap diri sendiri). Kalau untuk mendapat pujian orang lain, bukan hanya ujub ini bisa mengarah pada sikap sombong dan menjadi fitnah bagi lelaki(tidak bisa dielakan zina mata dan zina hati terjadi).

Allah Maha Indah dan menyukai keindahan, tetapi Allah memiliki syariat agar manusia tidak lalai dari tuuan awal mereka kembali dengan mendapat keridhoan-Nya. Keindahan terwujub dalam rangka mendapat pujian Allah, bukan keindahan yang menghantarkan kita atau orang lain tergelincir ke kubangan neraka. Kenyataannya saat ini hallul hawa semakin meraja lela sedang orang-orang beriman yang tsiqoh terasingkan. Banyak pembolak-balikan paradikma, yang indah tetapi hakikatnya salah dianggap sebagai keberagaman dan ekspresi seni. Sedang yang sederhana dan bercahaya sebagai sesesuatu yang buruk dan menakutkan.

Kenyataannya media asing dan sekular cederung menciterakan mereka yang bercadar dan berhijab besar sebagai orang yang fundamental. Ditambah dengan penayangan isteri pelaku pemboman membuat masyarakat tergiring opininya mereka sebagai teroris. Memang saat ini citera wanita berhijab lebar(syar’i) lebih baik tetapi mereka yang bercadar masih mendapat opini miring. Bahkan terkadang  memojokan justeru dari kalangan cendekiawan kita.

Mulai dikatakan sebagai ninja, komentar SARA(menjurus pada kelompok tertentu), orang yang tertutup, tidak mau berbaur, bukan budaya kita, hingga disebut sebagai hantu dan teroris. Saat sudah dicerahkan bahwa masalah radikalisme gak ada kaitannya dengan cadar, yang tidak bercadarpun bisa radikal(radikal liberalnya). Misal dkatakan tdiak ramah, sebagaimana orang yang tidak bercadar pun banyak yang tidak ramah bahkan kasar. Orang bercadar memiliki beragam karakter, ada yang supel bahkan ada yang gemit. Kembali pada masing-masing diri bukan artibut fisik.

Sering diidentikan kelompok tertentu. NU, Jammaah Tabligh, Salafii, LDII bahkan Syiah ada yang bercadar. Jadi cadar bukan berkaitan dengan lebel kelompok tertentu tetapi mereka yang sangat-sangat berusaha menjaga syariat, kehormatan, dan menghindari fitnah. Mereka yang bercadar apapun kelompoknya memiliki satu pemahaman yang utuh. Terlepas dari model cadar. Apa lagi yang berkomentar orang yang mengaku liberal, mengapa orang yang telanjang tidak dipermasalahkan? Dengan alasan yang sama pula, mereka yang bercadar menggunakan hak mereka menggunakan hak kebebasan diri.

Bukan hanya dikalangan masyarakat yang mengaku nahdiyin yang masih mengasosisiakan cadar dengan kelompok terentu. Bahkan hal semacam ini juga dikalangan warga persyarikatan muhamadiyah merupakan hal yang sedikit tabu.Begitulah masyarakat kita saat ini, saat  sudah dipahamkan masih merasa risih melihat yang bercarar. Bahkan kawan saya batal memakai cadar kerena gak dapat restu orang tua. Padahal fitnah yang dihadapi luar biasa, berkali-kali ganti nomer gara-gara banyak mata jelalatan yang mengidolakannya. Bayangkan itu yang berjilbab syar’i(lebar, kadang kayak mukena) apalagi yang bongkar pasang? Wah, konon ulama saja lihat betis wanita bisa hilang apalan lo, la bagaimana para mata jelalatan yang melihat pengumbar aurat berlenggak-lenggok?

Hal yang masih saya sayangkan rasa kekelompokan yang masih tinggi, bukan merasa sebagai satu kesatuan Islam yang sama-sama menggali mutiara hikmah. Kadang beda dikit dari kebiasaan dianggap bukan kelompoknya, “itukan menurut Muhamadiyah, kalau saya tetap mengikuti Imam Syafi’i(klaimnya tapi hanya kata-kata)!” Sikap ini hampir dimiliki banyak masyarakat, ada yang bilang “kalau Muhamadiyah yang sejati, maka ia akan berpegangtuh dengan HPT(Hipunan Putusan Tarjih), berbeda dengan yang sudah bergaul dan terpengaruh dengan pengajian lain”. Sedang HPT fatwanya bisa berubah, misal soal memajang foto di dinding. HPT itukan bukan kitab sahih ketiga setelah Quran dan Sunnah dan kesejatian mengembangkan kelompok bukan pada leterlek pada basul masaail atau HPT. Melainkan membersarkan Islam niscaya ormas akan besar(karena dapat ridho Allah). Berami mengkoreksi kelompok kita menyadarkan kita bahwa yang sempurna Islam dan terhidar dari sikap asobiyah(cinta kelompok berlebihan dan merendahkan yang tidak dicintai).


Melihat argumen saya yang tidak membawa kelompok manapun, serta tak mengharap pembelaan dari kelompok apapun(saya hanya menyapaikan kebenaran yang dititipakn Allah)  kemudian ada yang bertanya, bagaimana dengan Isteri mas Barep kelak? Kalau masalah bercadar, saya kembalikan kepada isteri saya. Jika memang itu keinginan bulat maka akan saya suprot.Soal wanita bercadar seperti yang saya ungkapkan sebelumnya merupakan bagian dari hak individu memutuskan dirinya bercadar. Bahkan saya salud dengan mereka yang begitu menjaga kehormatan bakal suami atau yang sudah menjadi suaminya.

 Lantas bagaimana dengan komentar orang lain? Langkah pertama kita cerahkan, lalu kita harus memiliki peran aktif dimasyarakat dan menjadi pribadi yang supel. Kalaupun masih tetap tidak bisa menerima, langkah terakhir berhijarah. Tidak semua kemauan masyarakat harus dituruti terlebih jika bertentangan dengan syariat dan nurani. Untuk meminang wanita yang shalehah gak bercadar saja berat apalagai yang bercadar. Hal yang berat apakah si wanitanya membuka hati, lalu syaratnya memberatkan tidak, dan bagaimana dengan kesanggupan diri. Bukan masalah berat takut si wanita lebih unggul keagamaannya ya!

 Lalu muncul pertanyaan bagaimana jika ada kesempatan(si wanita membuka hati) meminang wanita bercadar? Tentunya kalau mau mengikuti cara yang syar’i kekhawatiran kita tak berarti. Saat proses taaruf, ada proses tukar biodata, nah biasanya diberikan foto dengan wajah asli. Lagian masalah identitas(KTP,Paspor, SIM, surat nikah dll) mereka tak mengenakan cadar jadi jangan takut orangnya diganti. Kalau foto kurang yakin, ada sesi pertemuan pertama ia memperlihatkan wajahnya. Sebelumnya harus sudah mantap melihat aspek fundamental seperti: akidahnya ahlul sunnah, pemaham agamanya baik dan pokoknya ‘dah shaleh. Kemudian tinggal masalah paras, Anda menerima atau menolak sudah menjadi hak Anda. Kalau keriteria cukup (gak cantik dan gak jelek) saran saya terima.

Demikian statement saya tentang wanita bercadar yang sudah sekian lama mengendap. Awalnya alasan menahan stetmen ini takut dibilang forntal dalam menyampaikan pesan. Menang perlu dijalani mendakwahi keluarga, sahabat, dan lingkungan. Tetapi jika ada yang menyinggung masalah ini saya berargumen tidak jauh dari tulisan di atas. Untuk syiar di dunia maya, ini yang pertama. Biasanya seputar usaha menumbuhkan kecintaan terhadap Islam, menyampaikan hikmah dan padangan terhadap wanita berhijab disamping ajakan dan suport terhadap yang berhijab. Polanya yang belum berhijab, diajak berhijab, yang berhijab tetapi belum syar’i disuport agar lebih syar’i dan menutup aurat, lalau yang belum konsisten agar lebih konsisten. Lalu yang sudah syar’i disuport agar tidak tabaruj, menjaga diri.

Semoga bermanfaat, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Tulisan ini juga bentuk pertobatan saya bila sebelumnya pernah berburuk sangka, ucapan sembarangan, dan sikap yang tidak baik terhadap muslimah bercadar. Kebenaran yang saya dapatkan bahwa mereka yang menutup aurat dengan benar plus bercadar merupakan mereka yang memiliki komitmen tinggi terhadap idealisme keislaman. Sedang tentang perilaku yang khilaf tidak ada kaitannya dengan cadar melainkan permasalahan personal.

Catatan: gambar dari berbagai sumber