SEPUTAR KATA
YANG SALAH PENGEJAAN
:Kesalahan
yang Dianggap Lazim
Salah ketik(saltik) sering saya alami dalam
banyak tulisan. Kadang merasa sudah mengecek berkali-kali, ternyata masih
saja ada kekurangan dalam penulisan huruf. Selain memang salah ketik, bisa juga disebabkan perasangka kita kalau
itu benar, misalnya: kerudung sengaja ditulis krudung, relaif dituis relatip,
definisi ditulis devinisi, prioritas
ditulis perioritas dan lain-lain.
Beberapa kesalahan dalam mengetik ada kalanya memberi keuntungan, di antaranya membuat
kita paham bahwa: sedikit saja berbeda menuliskan huruf pada suatu kata akan
berbeda makna, misal layak dengan layah.
Maka untuk menghindari kesalahan ejaan dan
salah ketik selain kita harus berkali-kali membaca tulisan kita (kalau perlu dieja
kata per kata), juga harus terus belajar dan berani dalam menampilkan karya,
dan tentunya terbuka dengan keritikan (karena jika kita tidak pernah menampikan
karya dari mana kita akan tahu kesalahan kita?). Setelah menerima berbagai
masukan dari berbagai pihak, kita akan menjadi lebih cenderung meneliti tulisan
sendiri dan juga tulisan orang lain.
Selain itu ternyata banyak kata yang tidak
baku atau salah ketik, disebabkan alam bawah sadar kita menerima pesan dari
tulisan atau syair lagu yang kita anggap bagus yang ternyata salah ejaan.
Kemudian menjadi kesalahan umum. Selain membaca satu per satu kata, mungkin
perlu mengecek setiap kata yang kita tulis/ucapkan dengan Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Karena bisa saja kita merasa kata yang kita tuliskan baku, nyatanya
tidak baku atau malah tidak ada dalam Bahasa Indonesia. Maka dari itu di
bawah ini akan sedikit saya uraikan beberapa kata yang saya maksud tidak baku
namun sudah seperti menjadi keumuman di masyarakat.
1. Ubah bukan Rubah
Ubah versus rubah, paling sering dibahas dalam
berbagai keritik kesalahan ejaan. Kata dasar ubah yang ditulis rubah berdampak
pada pengimbuhan: merubah versus mengubah. Rubah sendiri dalam KBBI termasuk
kata homonim, yang pertama bermakna: hewan sejenis anjing. Sedang yang kedua
sebuah kata yang tidak baku dari ubah.
Ubah,
bermakna menjadi berbeda dari semula ternya bukan kata homonim. Mungkin inilah
alasan pembakuan kata ubah, agar tidak rancu dengan kata rubah. Keumuman pada
banyak syair lagu membuat seolah kata yang layak untuk ditulis ialah kata“rubah”
bukan ubah. Setelah saya cek, banyak sekali tulisan lama saya juga menulis
merubah bukan mengubah.
2. Hembus apa Embus?
Di buletin, artikel, atau mungkin cerpen
bahkan puisi banyak kita temui menuliskannya dengan hembus, hembusan, berhembus. Namun kalau kita cek kedalam KBBI kata hembus
tidak baku, yang baku embus. Uniknya, kata embus setatusnya kata homonim.
em·bus [1] v cak
enyah; pergi: -- kau dr sini;
em·bus [2], ber·em·bus
v 1 bertiup (angin dsb): angin
pagi mulai ~; 2 keluar
ditiupkan (tt napas, udara dr mulut, dsb): napasnya sudah tidak ~ lagi;
Jauh berbeda
bukan? Saya kurang tahu mengapa kata hembus tidak dibakukan agar tidak “ricuh”
dengan embus yang bermakna pergi.
3. Kaos ?
Kaus
Sub judul tersebut akan
pembaca temui ketika melakukan pencarian kata di KBBI. Kata kaos ternyata kata
yang tidak baku di dalam bahasa Indonesia. Namun seperti kita ketahui koas
sudah menjadi konvensi masyarakat memiliki arti baju yang terbuat dari bahan
kaus. Di kalangan kampus ada istilah, “kaos oblong” sebagai bentuk kaus yang
tidak berkerah.
Kita ketahui masalah “kaos
oblong” sering menjadi topik utama tentang tata tertip berpakaian ketika
berkuliah yang disampaikan dalam materi-materi ospek atau penamaan yang lain. Terutama untuk falkutas keguruan,
sudah pasti ada larangan keras mahasiswanya "berkaos oblong” apa lagi
kuliah dengan kaus oblong sambil menggunakan sandal jepit :D .
Jarang
kita dengar dari kakak tingkat atau dosen yang mengatakan “kaus oblong” atau di
pasar-pasar pedang bilang “kaus bola mas!” atau di iklan televisi dan
sebagainya. Bahkan secara tidak resmi konvensi masyarakat “kaos” bukan kaus
untuk menyebut “kain tipis
yang jarang-jarang tenunannya terbuat dari katun atau nilon, digunakan untuk
bahan pakaian”. Sedang kata kaos dalam bahasa Indonesia dengan maksud “kaus”
sebagai kata tidak baku.
Jika kita lihat lagi ternya kata “kaos” termasuk kata
homonim (kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena
berasal dari sumber yang berlainan). Kaos berarti: keadaan kacau-balau. Di mana
masyarakat dalam berbagai tulisan di buku, koran dan majalah lebih sering
menggunakan istilah asing menyebut kaos dengan “Cheos”. Tentu mungkin sebagian kita justru akan merasa aneh jika cheos ditulis kaos. :D Tapi kenyataannya
seperti ini, kebakuan bahasa sebagai kelaziman tata bahasa kadang kala bertentangan
dengan kelaziman yang digunakan masyarakat. Bahasa sebagai konvesi kata oleh
sekelompok masyarakat harus berbenturan dengan konvesi resmi sekelompok orang
yang memiliki otoritas menetapkan baku atau tidak baku suatu kata.
Sedikit menggalaukan pakar bahasa tentunya dalam hal
menyerap kata “cheos” ke dalam bahasa
Indonesia. Jika di serap dengan “kaos” maka kata kaos yang sudah digunakan
lebih dulu harus digeser ke kata kaus(sehingga kata kaus menjadi homonim).
Kalau diserap menjadi “caos” tambah memilukan karena sudah ada dua kata(caos)
yang sudah homonim.
4. Hadang apa Adang?
Kalau secara subjektif, saya atau mungkin Anda akan merasa cocok dengan kata
hadang dibandingkan kata adang. Apa lagi dalam memberi imbuhan, lebih cocok
menghadang dibanding mengadang. Namun pada realitanya kata hadang tidak baku,
kata adang baku. Uniknya lagi, kata adang sebagi kita pahami menghalangi suatu
hal, ternyata homonim dengan tiga kata yang bentuknya sama persis tapi bermakna
sangat jauh berbeda.
adang [1] v, meng·a·dang v 1
menghalangi (merintangi orang berjalan dsb) dng cara mendepang: jangan
engkau ~ orang itu, biarkan dia lewat; 2 menunggu di tempat yg sunyi (biasanya dng maksud jahat, spt
membunuh, merampok, menyamun); mencegat: gerombolan bersenjata ~
iring-iringan mobil; 3
menuju; memaksudkan; menghadapi; 4
menempuh (menantang) bahaya (kesukaran dsb): mereka berani ~ bahaya maut;
adang [2]Jw v menanak nasi dng menggunakan
dandang
adang [3] n 1 saudara tua dr ibu (biasanya wanita); kakak ibu; 2 nama atau gelar kehormatan; dang
Bila kita
lihat adang pada kata pertama, penggunaannya juga akan menimbulkan beberpa
makna yang berbeda. Ada empat kontekstualisasi penggunaannya.
5.
Sekedar atau Sekadar
Awalnya saya iseng mengecek kata sekedar kedalam KBBI,
karena sebelumnya merasa kata tersebut kata yang sudah baku. Ternyata tidak,
karena kata dasarnya kadar bukan kedar. Sekadar kata yang berasal dari akar
kata kadar.
6. Mendali atau Medali ya?
Ini kata yang memiliki permasalahan unik. Kita sering
mengucap mendali bukan medali, namun tidak menyebut mendalilion tapi medalilion
untuk menyebut jenis kalung. Bagus atau tidak kata medali, nyatanya kata ini
lebih baku dibanding kata mendali. Kata medali juga ternyata homonim, selain
bermakna suatu pemberiang penghargaan juga bermakna bunyian seperti seruling.
7. Menghujam atau Menghunjam
Penulisan dan pengucapan menghujam dalam banyak
tulisan bisa dikatakan kesalahan terbesar.
Kesalahan ini saya ketahui ketika hendak lebih memaknai kata ini,
ternyata tidak ada dalam kamus. Kemudian ketika dicek di papan mesin pencarian
tidak ada definisi menghujam, sedang menulis kata kunci "hujam" akan
dikoreksi menjadi hujan. Usut punya usut, ternyata kata yang benar menghunjam.
Kita banyak yang korupsi huruf :v :v :v Kata "menghujam" sendiri,
seingatku saya dapatkan dari syair Tompi “menghujam jantungku”.(Lihat beritanya
di hunjam, menghunjam; BUKAN hujam,
menghujam Kata salah kaprah: hujam, menghujam…. http://tatabahasaindonesia.wordpress.com/2012/11/13/hunjam-menghunjam-bukan-hujam-menghujam-kata-salah-kaprah-hujam-menghujam/ )
8. Berlahan atau Perlahan
Sama dengan poin tujuh, kata berlahan tidak ada dalam
kamus. Entah bahasa apa yang jelas bukan Bahasa Indonesi. Jelasnya kata
perlahan bukan kata turunan dari lahan, melainkan kata dasar yang independen.
Mungkin inilah yang dikira sebagai kata turunan sehingga sinonim dari
lambat-laun ditulis dengan berlahan.
***
Demikian kedelapan poin tentang kesalahan penulisan
kata dalam karangan. Perlu kita pahami
bahasa itu dinamis, konvesi sekelompok masyarakat terkadang dikalahkan oleh
konvesi masyarakat yang lebih luas lagi. Kata mentari yang di kamus lama tidak
baku sekarang baku. Maka kita tidak bisa berpedoman dengan kamus lama, seperti
juga kata nopember dan jadual di kamus lama(80an) dianggap
baku. Tapi saat ini seperti bukan kata Indonesia. Kata marxisme, nama-nama tempat, kebangsaan dahulu ada dalam kamus saat
ini seperti sudah tidak ada.
Ketika penulisan tulisan non fiksi, seperti karya
ilmiah pemilihan kata baku menjadi wajib. Sedang untuk non fiksi, masih ada
celah. Misal prosa, bisa dengan alasan penggunaan kata sehari-hari atau ragam
percakapan. Maka sepatutnya ditulis dengan huruf miring. Sedang untuk puisi,
memang masalah gramatika tidak bisa dilepaskan, namun jika tidak selaras dengan
pengungkapan pengkarya bisa diterabas
dengan licentia poetica. Kuncinya
bebas namun harus bisa dipertanggungjawabkan. Menggunakan hak ini tidak
semabarangan, bukan masalah suka-suka. Selain itu juga membuat kita tidak
gegabah menghukumi karya orang lain tidak nyastra
atau yang lainnya.
Sebenarnya masih banyak seperti hiperbola versus
hiperbol, jejauhan dengan kejauhan. Karena ilmu saya masih kurang maka ditahan
dulu pembahasannya :D. Mungkin ada masukan dari pembaca seputar permasalahan
ini? Atau mau memaparkan kasus lain seputar kata yang salah pengejaan. Tulisan
saya ini dikeritik juga boleh.
Salam ka(r)ya!
Ket:Kamus
yang saya pakai KBBI Offline versi 1.1 2010 Ebta Setiawan