Rabu, 16 Maret 2011

     KURANGNYA empati kerap menyulut konflik. Komunikasi efektif membantu membangun empati anak sejak dini. Bagaimana membangun empati pada anak sejak dini?


Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan cerminan dari ketiadaan empati, dan ini sering kali menjadi penyulut konflik.

Psikolog dari Universitas Airlangga, Iwan Wahyu Hidayat, mengungkapkan bahwa empati berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang. Menurut dia, empati merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, empati lebih dari sekadar rasa kasihan, karena di dalamnya terdapat makna untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya.

Itulah sebabnya, bagi para orangtua, membangun pemahaman anak terhadap empati lebih penting artinya dibandinglan sekadar memberikan materi kepada orang lain (misalnya pada pengemis) hanya karena kasihan. Caranya bisa beragam dan akan lebih mengena bila si anak mengalaminya secara langsung.

Misalnya, merayakan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako pada para pengungsi bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun menyumbangkan alat baca-tulis pada anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan.

Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antara sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Melalui kegiatan sosial tersebut, anak tidak hanya melihat potret kehidupan orang lain, tetapi belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dengan begitu, empati dan kepekaan sosialnya dapat terasah. Perlu diingat, empati amat erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial sehingga perlu ditanamkan sejak kecil.

Kewajiban ini terletak di pundak orangtua selaku penanggung jawab penuh atas tumbuh-kembang putra-putrinya. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, sebab cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek, misalkan melalui kebiasaan curhatyang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. "Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun," ujar psikolog Tika Bisono MPsi.

Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya, antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.

"Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktifpartisipatif," ungkap pemilik Tibis Sinergi Consultant itu seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat putusan sendiri.

Namun, namanya juga anakanak. Mereka masih sangat hijau sehingga bimbingan dan arahan dari orangtua tetap mutlak dilakukan. Tak kalah penting adalah percontohan dari orangtua. Stephen Montana PhD dari Saint Luke Institute New Hampshire USA, mengemukakan bahwa filosofi becermin (mirroring) merupakan dasar dari pendidikan empati orangtua terhadap anaknya.

Ya, orangtua adalah cermin bagi si anak. Tanpa memandang baik atau buruk, anak akan meniru apa pun perilaku orangtuanya. Untuk itu, para orangtua hendaknya berlomba memperbaiki diri agar menjadi "cermin" yang bening bagi anak-anaknya.

Bebas tapi Bertanggung Jawab

Untuk menerapkan pola komunikasi efektif, orangtua perlu memahami tahap-tahap perkembangan. Menurut Tika Bisono, setiap tahapan membawa tuntutantuntutan "tugas perkembangan" yang harus dipelajari agar tidak menghambat proses perkembangan selanjutnya.

Tahapan tersebut umumnya dilalui dengan urutan yang sama bagi semua anak. Hanya, penerimaannya berbeda, ada yang lebih cepat atau lebih lambat. "Ada perbedaan-perbedaan individual antara anak dalam perkembangannya. Baik secara keseluruhan maupun aspek tertentu, seperti perkembangan intelektual, sosial, afektif, emosional," papar Tika.

Seiring tumbuh-kembangnya, anak pun "menuntut" kebebasan. Anak-anak punya hak dan kebebasan mengekspresikan rasa senang, ketakutan, marah, atau sedih. Adalah tugas orangtua untuk mengajari anak bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan baik dan terkendali.

Empati dan kebebasan tentu ada hubungannya. Terkadang, ada anak yang mengekspresikan kebebasannya dengan marah-marah. Jika orangtua tak berusaha memahami penyebabnya, si anak bisa berubah menjadi ketakutan ketika ekspresi marahnya itu ditekan atau tidak diberi kebebasan.

Nilai lain yang terselip dalam aspek kebebasan adalah rasa tanggung jawab. Tak jarang, orangtua menuruti segala keinginan anak untuk memenuhi "tuntutan" si anak atas kebebasannya itu. Begitu pula dengan dalih kasih sayang, mereka membelikan aneka mainan atau barang yang diinginkan putra- putrinya. Perilaku demikian tentu tidaklah mendidik.

"Sebaiknya orangtua menyeimbangkan antara apa yang dapat dilakukan si anak untuk dirinya sendiri dan memilih apa saja yang boleh diberikan untuk mendukung kebebasannya itu," ujar Kristin Zolten MA dari Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences.

Seiring meningkatnya kebebasan, berkembang pula pemahaman anak akan tanggung jawab. Ketika dibelikan sepeda oleh orangtuanya, dia belajar bertanggung jawab menjaga sepedanya agar tidak rusak atau hilang.
(Koran SI/Koran SI/tty)
http://lifestyle.okezone.com/read/2009/07/14/196/238669/search.html

0 komentar :

Posting Komentar