Rabu, 20 November 2013

PENDIDIKAN GERATIS DAN KEADILAN MENDAPATKAN PENDIDIKAN LAYAK 
Saat ini kesadaran masyarakat terhadap pendidikan semakin hari menunjukan trens positif. Partisipasi masyarakat dalam pendikan semakin tinggi. Banyak sekolah bermunculan berdasarkan inisiasi warga sekitar, mulai dari pembebasan lahan, ikut serta membangun gedung sekolah, ikut serta memperbaiki jalan hingga rela untuk menggaji guru.
Namun jika berbicara pendidikan yang layak saat ini masih banyak PR besar dari seluruh kalangan, baik pihak swasta, organisasi keagaamaan (yang korn dengan pendidikan) maupun pemerintah. Bagi sebagian masyarakat kita jangankan untuk sekolah yang layak, untuk dapat bersekolah pun sulit. Kesulitan beragam bentuknya, yang paling kelasik adalah masalah perekonomian untuk bersekolah. Di kolong jembatan kalangan urban merasa keberatan, karena mereka berpikir sekolah tidak menyelesaikan masalah perut mereka yang lapar. Belum ditambah bea sekolah yang semakin melangit, akibat ketimpangan kaya dan miskin berimbas kepada fasilitas sekolah.

Sekolah yang maju semakin maju, bahkan mendapat instensif dengan alalasann rintisan setandar nasional (RSSN) atau rintisan berbasis internasional.(RSBI) Sedang masih banyak sekolah yang dibawah setandar luput dari perhatian kita. Jangankan untuk kelengkapan laboratorium, tidak kehujanan didalam ruangan menjadi anugrah Allah yang tidak dapat mereka lupakan.
Si miskin mau mengembangkan anaknya yang cerdas pun sulit, harus membayar sebegitu besar biaya sekolah. Dan peluang mendapatkan bea siswa terkadan hanya semu, bea siswa hanya cukup untuk membayar bulanan bahkan kurang. Padahal biaya sekolah bukan hanya bulanan, bahkan sangat ironis sekolah negeri mewajibkan membayar uang bangunan.

Belum ketimpangan didalam dunia pendidikan, siswa yang tidak pernah memerlukan laboratorium MIPA (karena masalah jurusan) pun harus ikut membayar laboratorium, sedang fasilitas untuk kejuruannya kurang diperhatikan. Sementara yang membutuhkan loboraturium pun mengatakan fasilitas kurang lengkap. Bagaiman ini bisa teradi ? kemana saja anggaran selama ini berjalan ? 
Jelas-jelas masalah ini bertentangan dengan Pasal 5 (1)  UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi  “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pelangarannya jelas, dengan meningkatkan kulitas satu jurusan diatas jurusan yang lain merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang nyata, jika ada peningkatan kualitas suatu jurusan dengan program tertentu maka jurusan yang lain harus diberikan kompensasi pada peningkatan kualitas pendidiakan yang lain. Jangan sampai sekolah hanya menjadikaan para siswa yang bersekolah hanya diperas uangnya untuk sebuah ketidak adilan dalam pendidikan. Sekolah tidak boleh memihak salah satu jurusan dan harus bersifat netral, atau memberikan hak otonomi kepada masing-masing jurusan mengembangkan diri, sehingga sah antar jurusan berlomba meningkatkan kualitas pendidikan. Atau jika tidak mapu, hapuskan saja salah satu jurusan, artinya sekolah tersebut belum siap membuka lebih dari satu jurusan.

Juga masalah pembagian kelas (dalam konteks rombongan belajar), hal ini dapat bertentangan dengan pasal diatas. Apa bila angkatannya sama, jurusannya sama, kewajibannya sama, tetapi hak yang diperoleh berbeda. Misalnya dalam masalah fasilitas dan lain sebagainya. Rombongan belajar sekarang lebih banyak dijadikan penentuan kasta, perlakuan tidak pantas seperti ini oleh sekolah masih sering dilakukan. Dengan jargon kelas unggulan, anak-anak yang tidak masuk kedalam kelas unggulan mendapatkan perlakuan yang jauh berbeda. Hal yang palin sering terjadi yang pintar semakin pintar yang bodoh semakin bodoh. Sekolah dijadiakan ajang mencari bakat bukan ajang mengembangkan bakat dari masing-masing individu. Lagi-lagi anak yang tidak masuk kelas unggulan dijadikan sasaran pemerasan uang. Menerima murid banyak hanya untuk membuat cerdas satu-dua orang. Hal yang terjadi selama ini bukan memotivasi siswa tetapi menurunkan motivasi belajar siswa, terutama kelas yang dicap sebagi kelas terbodoh. Omongan dari sesama angkatan, kakak tingkat, guru dan masyarakat akan membentuk konsep diri bahwa mereka siswa yang bodoh karena masuk kelas terbawah. Akibatnya mereka lebih banyak melakukan kenakalan remaja. Bagus ada kelas anak-anak berprestasi, namun jangan ada kelas terbodoh, hal semacam ini harus dihindarkan sedapat mungkin.

Masalah yang lain adalah masalah letak, banyak yang harus bersekolah mengarungi sungai dan selat. Atau jalan terjal dilewati dari rumah kesekolah yang jangkauannya sanagat jauh. Dimana resiko sangat tinggi. Semakin jauh dari sekolah semakin dekat dengan resiko-resiko yag menghambatan menuju kesekolah. Hal-hal semacam ini sebenarnya tidak harus terjadi dan harus segera ditangani pemerintah karena jelas-jelas bertentangan denga Pasal 5 (3) UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi “ Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”. Belum lagi jika berbicara kultur budaya masyarakat. Terkadang guru berkualitas pendidikan yang mumpuni harus dihadapkan dengan kultur masyarakat yang kontra dengan sistem-sistem pendidikan.


Kemudian sering muncul dalam benak kita, mungkinkah pendidikan geratis terjadi di Indonesia ? Jawabannya pendidikan geratis masih mungkin terjadi kalau undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan saat ini dijalankan dengan konsekuen.
Coba kita buka Pasal 31 UUD 1945 yang dapat dijadikan jaminan terwujudnya pendidikan geratis. Pasal 31 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut :

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
     membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
     meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
     kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
     anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
     daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-
      nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
      manusia.

Kita perhatikan pada ayat pertama yang berbunyi : "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".Artinya negara memiliki kewajiban mewujudkan setiap tuntutan warga negarannya untuk memenuhi haknya untuk mendapatkan pendidikan. Warga negara memiliki hak mendapatkan pendidikan tentunya penuntutan haknya kepada pihak yang memiliki wewenang menyusun undang-undang tersebut, dalam hal ini legislatif. Benar yang menjalankan eksekutif, namun rakyat lebih berhak menuntut dan mengemukakan pendapatnya kepada penyusun undang-undang. Kemudian ditindak lanjuti legislatif melihat kembali apakah undang-undang yang diamanahkan kepada eksekutif berjalan. Jika tidak dapat melakukan tuntutan kepada pihak yudikatif, berupa teguran atau pembebas tugasan.

Kita lihat lagi pada ayat kedua yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Seluruh warga negara Indonesia memiliki kewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar saat ini ialah SD dan SMP atau sederajat. Hal ini berkaitan dengan Ayat 1 Pasal 6 dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan yang berbunyi “ Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”  Usia tujuh tahun usia awal anak masuk SD dan 15 tahun usia normal anak lulus SMP. Maka jelas pendidikan dasar berkaitan dengan program wajib belajar 9 tahun.
Kita lihat di ayat kedua tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa jika masyarakat tidak mampu dalam masalah biaya maka pemerintah wajib membiayainya( atau tafsiran lebih luas seluruh warga negara Indonesia wajib ditanggung biayanya dalam menjalankan pendidikan dasar).  Ini bersifat umum, jika kita perhatikan segala usia apapaun setausnya menikah atau lajang mereka wajib untuk mendapatkan pendidikan dasar. Tentu memasuki lembaga pendidikan mememiliki syarat-syarat berupa batasan usia, setaus, serta perilaku yang terkontrol.
Jika pasal ini betul-betul diterapkan, maka seluruh putra-putri bangsa yang memiliki usia wajib belajar, diharuskan bersekolah tanpa terkecuali. Jika sekolahnya kurang, pemerintah wajib mendirikan sekolah baru dalam rangka memenuhi hak warga negaranya. Kemudia mereka yang usianya sudah lewat dari usia anak sekolah maka tetap wajib mendapatkan pendidikan dasar melalui program kesetaraan paket A dan paket B. Kemudian mereka yang terpaksa menikah di usia dini, serta yang terlibat masalah hukum tetap memiliki kewajiban menjalankan progra wajib mengikuti pendidikan dasar dengan program kesetaraan paket A dan paket B juga. Sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, karena dalam program pendidikan dasar tersebut juga dikembangkan keterampilan peserta didik sesuai potensi yang dimiliki dan tuntutan tantangan zaman.

KOMITE SEKOLAH DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN 
Masalah yang lainnya partisipasi masyarakat terhadap komite sekolah masih minim. Komite sekolah dibeberapa sekolah bahkan tidak ada atau bahkan dimonopoli kelompok tertentu. Monopoli ini dapat bersifat sistematis, dengan hanaya melibatkan orang-orang tertentu dalam komite sekolah, atau dominasi beberapa orang dalam komite sekolah. Lebih banyak masyarakat yang acuh tak acuh terhadap komite sekolah, padahal sekolah dan komite sekolah menjadi penentu kemajuan negara ini.  Peranan Komite sekolah sangat berkaitan dengan maksud ayat (2) Pasal 6 dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa  “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Masyarakat melui komite sekolah memiliki tanggung jawab mebgawal terselenggaranya program pendidikan sekolah.
Komite sekolah sebagai kontrol anggaran sekolah. Semakin lemah komite sekolah semakin kuat potensi korupsi di instasi lembaga pendidikan. Semakin baik keterlibatan komite sekolah dalam menjalin hubungan dengan pihak lembaga sekolah semakin banyak kemajuan yang akan didapatkan oleh suatu lingkungan belajar.
Hal ini berkaitan dengan  ayat 4 Pasal 31 UUD 1945 "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".
Dari sini akan sangat banyak anggaran negara digunakan untuk melakukan pendidikan dasar. Maka pengawasannya harus dimulai dari pengawasan kinerja lembaga sekolah. Setra setiap wali murid harus cerdas memahami hukum perudang-undangan yang berlaku, karena pihak yang korup akan berusaha melakukan pembodohan berupa manipulasi penafsiran peraturan  perundang-undangan. Misal masalah BOS(Bantuan Oprasional Sekolah) yang memungkinkan wali murid tidak perlu melakukan pembayaran fisik bahakn non fisik serta tidak perlu membayar gaji guru SD dan SMP dapat dibelokkan dengan penafsiran bahwa BOS bantuan dari pemerintah ala kadarnya.

Belum bantuan-bantuan yang turun dari pemerintah perlu diperhatiakn dengan cermat. Selain itu kebijakan-kebijakan sekolah perlu dikawal. Jangan sampai sekolah menyingkirkan anak miskin dan tidak mampu dengan biaya yang mahal dengan dalih peningkatan mutu pendidikan, seolah mutu pendidikan yang tinggi monopoli mereka yang kaya. Mereka yang miskin, yang benar-benar membutuhkan pendidikan agar tidak terus terjerembab oleh kemiskinan akibat kebodohan semakin ditenggelamkan oleh jargon-jargon SNI dan SBI. Pemerintah sendiri sudah menjamin mereka yang miskin sebagaimana dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 telah disebutkan disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Maka sepatutnya seberapa mahal biaya peningkatan mutu kualitas pendidikan sekolah tidak layak memeras uang mereka si miskin. Mereka sudah ada jaminan dari pemerintah. Dan pemerintah sebagamana jaminan terhadap masalah kesehatan wajib membiayai seberapapun besar biaya yang dibutuhkan. Mereka yang miskin adalah “pasien” pengindap “kebodohan” yang harus “diobati” hingga sembuh.  Hal ini berkaitan dengan bunyi Pasal 5  ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi “ Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.”
Masalah ini juga berkaitan dengan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan yang tertuang dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 (1)  yang berbunyi “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”
Maka komite sekolah memilik peranan penting mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan tidak diskeriminatif, setiap kompomen masyarakat yang terlibat dalam komite sokolah harus berjuang melindungi mereka yang miskin di hadapan pihak sekolah, bahkan dihadapan pemerintah daerah bila perlu dikawal hinngga diperjuangkan dihadapan pemerintah pusat.

REALISASI PENDIDIKAN GERATIS DAN PASAL MATI
 Namun bila tetap menggunakan pola lama menjalankan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan hal ini menjadi tidak mungkin.  Pasal-pasal yang saya sebutkan diatas belum sepenuhnya bejalan bahkan banyak yang tidak dijalankan. Bisa saja belum dijalakan pasal dan ayat diatas dihapuskan, maka hanya menjadi ayat dan pasal bodong sepanjang sejarah. Undang-Undang tidak akan dapat disebut peraturan jika sama sekali tidak pernah digunakan. Ini namaya pasal yang tertidur, jika belum diterapkan sudah dirubah maka menjadi pasal mati.
Saat ini banyak alasan pihak pemerintah untuk tidak segera menerapkan pendidikan geratis yang di amanahkan UU. Argumen mereka lebih banyak mempermasalahkan dana, karena dana untuk pendidikan terbatas maka perlu mengembangkan sektot perekonomian. Penalaran selanjutnya untuk memacu perkembangan sektor pembangunan maka dibutuhkan investasi yang cukup besar. Dan ivestasi paling besar didapat dari negara-negara maju.  Konsekoensi selanjutnya negara perlu mengundang investor asing. salah satu oknum pemerintah yang kini terlibat kasus korupsi waktu kuliah umum di salah satu perguruan tinggi swasta mengatakan : "pembangunan ekonomi dulu baru pendidikan".

Coba kita nalar kembali, bagai mana mungkin membangun ekonomi kalau rakyatnya(SDAnya) masih terjerat dengan kebodohan dan krisis percaya diri ? Yang akan terjadi seperti saat ini kita dijajah secara ekonomi oleh pemodal asing. Bukan berarti penulis anti insvestasi, kalau memiliki kecendrungan tinggi menggantungkan diri kepada asing akan sangat berbahaya kedaulatan negara. Jika kedaulatan hilang negara kita hanya akan dijadikan negara boneka. Kedalulatan negara bukan hanya kedaulatan secara formalitas, tetapi perlu kedaulatan sosial, politik, hukum dan keamanan sehingga menjadi negara yang merdeka seutuhnya.

Masalah penghambat pedidikan geratsi lainya antara lain sikap egois kalangan birokrat yang mementingkan perut sendiri bukan kemajuan bangsa. Terbukti banyak kalangan birokarasi yang terlibat kasus korupsi secara nasional maupun lokal. Sistem korupsi yang akut dari pusat hingga pelosok desa. Maka program-program yang berjalan yang memiliki peluang korupsi, berbeda dengan produk UU dibuat agar menarik simpatik dan kepercayaan.
Korupsi banyak terjadi di negara ini, bahkan dana pinjaman dari negara asing pun dikorupsi. Yang menjadi pertanyaan : Mungkinkah negara donatur tidak mengetahui pinjaman dan bantuannya dikorupsi ? Sangat tidak mungkin. Ada pembiyaran, karena maksud mereka bukan hannya memberi pinjaman namun menguasai suatu negara lewat penguasaan politik dan perekonomian.

Sebenarnya masih banyak putra-putri bangsa yang memiliki SDM yang yang unggul namaun pemerintah kurang mengakomodasi Anak-anak yang memilik kepandaian diatas rata-rata. Anak pandai banyak yang  lari ke luar menjadi teknisi asing memajukan negara lain, atau tak sedikit anak yang memilik kepandaian diatas rata-rata justeru menjadi perakit bom. Atau sebagian lagi cuman jadi penerus perusahaan milik orang tuanya. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 5 (4) UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi : Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berha memperoleh pendidikan khusus. Banyak putra-putri calon penerus tampuk pimpinan yang tidak terakomodir sehingga mereka lebih memilih untuk menempuh jalannya sendiri-sendiri. 
Pelaksanaan pendidikan geratis harus dimulai dengan mengeratiskan program pendidikan dasar. Dari SPP, seragam, perlengkapan belajar hingga LKS dan buku belajar siswa harus betul-betul menjadi jaminan dalam pendidikan geratis. Jika secara nalar sebenarnya pelajar tidak patut membayar pendidikan, terlebih membayar mahal. Namun mereka seharusnya digaji karena mereka berjuang memikirkan bangsa. Namun pola kita yang masih mengatakan pendidikan itu mahal, perjuangan pelajar untuk digaji sangat panjang. Sedangkan pendidikan geratis yang diamanatkan undang-undang belum sepenuhnya berjalan.
Maka dari itu kita perlu melakukan pengawasan ketat jalannya undang-undang yang menyangkut masalah pendidikan.  Banyak yang harus dilakukan diantaranya mobilisasi anak/orang tua putus sekolah dengan paket A,B,C. Selain itu yang paling pokok pemerintah harus mengakomodasi anak tidak mampu dengan program bea siswa penuh (jaminan geratis bersekolah) atau sekolah terbuka. Dan proteksi anak-anak yang malas sekolah dengan pendidikan luar biasa.

Sehingga terus terjaga terjaga potensi anak-anak pandai untuk terus mereka kembangkan. Karena selama ini banyak yang terseleksi dalam artian tersinkirkan dari pendidikan lanjut karena permasalahan finansial. Banyak anak SD yang memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan tidak melanjutkan pendidiakan. Sentara banyak anak-anak yang kalah dengan anak tersebut justeru melanjutkan pendidikan. Hal ini juga terjadi ketika di SMP,SMA bahkan di Perguruan Tinggi.  Bahkan tidak sedikit anak berbakat putus sekolah ditengah jalan hanya karena permasalah ekonomi. Sedangkan banyak yang disekolah prestasi rendah, tidak aktif belajar, bahkan sering bolos. Sebenarnya mereka yang mendapat pendidikan cukup layak namun menyianyiakan pendidikan mereka telah merampas hak anak-anak yang layak mendapatkannya. Fasilitas pendidikan semestinya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, namaun yang terjaid disesuaikan dengan kaontong wali murid. Masalah pengembangan fasilitas pendidikan sepatutnya sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 ayat (5) yang berbunyi Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat  manusia.
Selain itu saat ini jumlah guru bulum mencukupi dengan perbandingan siswa yang harus dididik. Sepatunya tidak perlu ada kerisauan di FKIP banyak peminat, karena jika Undang-undang pendidikan dicoba untuk dijalankan secara soprtif hal ini bukan permasalahan, karena kita masih dalam kategori kekurangan guru. Standar yang optimal dalam satu kelas maksima 20 peserta didik. Idealnya lagi guru pembimbing 1 dengan asisten guru 2 hingga 4 orang (pola pembelajaran kursus). Sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Maka masih sangat diperlukan jumlah guru dan bangungan sekolahan.
Hal yang cukup ironis bahwa saat ini masih ada sekolah yang terancam tutup, dan penyebab tutup skolah tersebut disamping permasalahan murid sedikit juga karena mobilitas dan kedisiplinan guru kurang maka minim peminat. Kenyataannya masih banyak murid yang tidak tertampung untuk sekolah, pengaturan proposional murid dan sekolah jika wajib belajar benar-benar dilakukan tidak perlu terjadi. Jika satu wilayah terdapat anak-anak usia sekolah yang seluruhnya terserap dalam lingkungan belajar dan ternyata masih banyak sekolah yang sepi murid, maka dapat mengimpor murid dari wilayah yang kekurangan bangunan sekolah. Sedang alangkah ironis jika ada guru  yang mobilitas rendah, jarang masuk dan asering telat. Karena masih banyak calon guru yang belum mendapat kesempatan mengajar.

Sesuai dengan amanah UUD maka Pemerintah menganggarkan pendidikan 20% sbenarnya untuk membiayai pendidikan dasar dapat dikatan lebih dari cukup. Kemudian pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten harus didorong mengalokasikan angaran pendidikan sebesar 25%-15%. Misalkan tanggunggan pemerintah kabupaten fokus kepada menggeratiskan sekolah menengah atas dan sederajat. Kemudian Pemerintah pusat program sekolah geratis pada Diploma dan Setrata 1 yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah, serta wajib setelah wisuda selama lima tahun berkontribusi kepada daerah (konsep pengabdian). Hal ini dapat menyelesaiakn masalah penganguran dan pemberdayaan putra-putri daerah yang potensial.

Selanjutnya juga  pegawai pemerintah dan aparatur pemerintahan dari presiden hinga bupati, para mentri dan  anggota dewan juga perlu menghibah uang misalkan 10 juta buat bantuan biaya pendidikan. Bila sistem terus di kembangkan tidak menuntup kemungkinan pada penggeatisan S2 dan S3.untuk menuju hal tersebut diawali dengan memberikan bea siswa yang layak tentunya dengan ikatan kontrak. Janagan sampai setelah mendapat beasiswa justeru pindah keluar negeri menjadi pegawai negara asing. Negara jeas kecolongan mebiayai seorang yang tidak memiliki jiwa patriotis.

Maka pendidikan geratis dinegara ini bukanlah hal yang mustahil jika benar-benar ada tekat untuk mewujudkan.