PENDIDIKAN GERATIS DAN KEADILAN MENDAPATKAN PENDIDIKAN LAYAK
Saat ini kesadaran masyarakat terhadap pendidikan semakin hari menunjukan
trens positif. Partisipasi masyarakat dalam pendikan semakin tinggi. Banyak
sekolah bermunculan berdasarkan inisiasi warga sekitar, mulai dari pembebasan
lahan, ikut serta membangun gedung sekolah, ikut serta memperbaiki jalan hingga
rela untuk menggaji guru.
Namun jika berbicara pendidikan yang layak saat ini masih banyak PR besar
dari seluruh kalangan, baik pihak swasta, organisasi keagaamaan (yang korn dengan pendidikan) maupun
pemerintah. Bagi sebagian masyarakat kita jangankan untuk sekolah yang layak, untuk dapat bersekolah pun sulit.
Kesulitan beragam bentuknya, yang paling kelasik adalah masalah perekonomian
untuk bersekolah. Di kolong jembatan kalangan urban merasa keberatan, karena
mereka berpikir sekolah tidak menyelesaikan masalah perut mereka yang lapar.
Belum ditambah bea sekolah yang semakin melangit, akibat ketimpangan kaya dan
miskin berimbas kepada fasilitas sekolah.
Sekolah yang maju semakin maju, bahkan mendapat instensif dengan
alalasann rintisan setandar nasional (RSSN) atau rintisan berbasis internasional.(RSBI)
Sedang masih banyak sekolah yang dibawah setandar luput dari perhatian kita.
Jangankan untuk kelengkapan laboratorium, tidak kehujanan didalam ruangan menjadi anugrah
Allah yang tidak dapat mereka lupakan.
Si miskin mau mengembangkan anaknya yang cerdas pun sulit, harus membayar
sebegitu besar biaya sekolah. Dan peluang mendapatkan bea siswa terkadan hanya
semu, bea siswa hanya cukup untuk membayar bulanan bahkan kurang. Padahal biaya
sekolah bukan hanya bulanan, bahkan sangat ironis sekolah negeri mewajibkan
membayar uang bangunan.
Belum ketimpangan didalam dunia pendidikan, siswa yang tidak pernah
memerlukan laboratorium MIPA (karena masalah jurusan) pun harus ikut membayar
laboratorium, sedang fasilitas untuk kejuruannya kurang diperhatikan.
Sementara yang membutuhkan loboraturium pun mengatakan fasilitas kurang
lengkap. Bagaiman ini bisa teradi ? kemana saja anggaran selama ini berjalan ?
Jelas-jelas masalah ini bertentangan dengan Pasal 5 (1) UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang
berbunyi “Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pelangarannya jelas,
dengan meningkatkan kulitas satu jurusan diatas jurusan yang lain merupakan
sebuah bentuk diskriminasi yang nyata, jika ada peningkatan kualitas suatu
jurusan dengan program tertentu maka jurusan yang lain harus diberikan kompensasi
pada peningkatan kualitas pendidiakan yang lain. Jangan sampai sekolah hanya menjadikaan para siswa yang
bersekolah hanya diperas uangnya untuk sebuah ketidak adilan dalam pendidikan.
Sekolah tidak boleh memihak salah satu jurusan dan harus bersifat netral, atau
memberikan hak otonomi kepada masing-masing jurusan mengembangkan diri,
sehingga sah antar jurusan berlomba meningkatkan kualitas pendidikan. Atau jika
tidak mapu, hapuskan saja salah satu jurusan, artinya sekolah tersebut belum
siap membuka lebih dari satu jurusan.
Juga masalah pembagian kelas (dalam konteks rombongan belajar), hal ini dapat bertentangan dengan pasal diatas. Apa
bila angkatannya sama, jurusannya sama, kewajibannya sama, tetapi hak yang
diperoleh berbeda. Misalnya dalam masalah fasilitas dan lain sebagainya.
Rombongan belajar sekarang lebih banyak dijadikan penentuan kasta, perlakuan
tidak pantas seperti ini oleh sekolah masih sering dilakukan. Dengan jargon kelas
unggulan, anak-anak yang tidak masuk kedalam kelas unggulan mendapatkan
perlakuan yang jauh berbeda. Hal yang palin sering terjadi yang pintar semakin pintar yang bodoh
semakin bodoh. Sekolah dijadiakan ajang mencari bakat bukan ajang mengembangkan
bakat dari masing-masing individu. Lagi-lagi anak yang tidak masuk kelas
unggulan dijadikan sasaran pemerasan uang. Menerima murid banyak hanya untuk
membuat cerdas satu-dua orang. Hal yang terjadi selama ini bukan memotivasi
siswa tetapi menurunkan motivasi belajar siswa, terutama kelas yang dicap
sebagi kelas terbodoh. Omongan dari sesama angkatan, kakak tingkat, guru dan masyarakat akan membentuk konsep diri bahwa mereka siswa yang bodoh karena masuk
kelas terbawah. Akibatnya mereka lebih banyak melakukan kenakalan remaja. Bagus
ada kelas anak-anak berprestasi, namun jangan ada kelas terbodoh, hal semacam ini harus dihindarkan sedapat mungkin.
Masalah yang lain adalah masalah letak, banyak yang harus bersekolah
mengarungi sungai dan selat. Atau jalan terjal dilewati dari rumah
kesekolah yang jangkauannya sanagat jauh. Dimana resiko sangat tinggi. Semakin
jauh dari sekolah semakin dekat dengan resiko-resiko yag menghambatan menuju
kesekolah. Hal-hal semacam ini sebenarnya tidak harus terjadi dan harus segera
ditangani pemerintah karena jelas-jelas bertentangan denga Pasal 5 (3) UU Nomor
20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi “ Warga negara di daerah
terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus”. Belum lagi jika berbicara kultur budaya masyarakat. Terkadang guru
berkualitas pendidikan yang mumpuni harus dihadapkan dengan kultur masyarakat
yang kontra dengan sistem-sistem pendidikan.
Kemudian sering
muncul dalam benak kita, mungkinkah pendidikan geratis terjadi di Indonesia ? Jawabannya
pendidikan geratis masih
mungkin terjadi kalau undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan saat ini dijalankan dengan konsekuen.
Coba kita buka Pasal 31 UUD 1945 yang dapat dijadikan jaminan terwujudnya pendidikan geratis. Pasal
31 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-
nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat
manusia.
Kita perhatikan pada ayat pertama yang berbunyi : "Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan".Artinya negara
memiliki kewajiban mewujudkan setiap tuntutan warga negarannya untuk memenuhi
haknya untuk mendapatkan pendidikan. Warga negara memiliki hak mendapatkan
pendidikan tentunya penuntutan haknya kepada pihak yang memiliki wewenang
menyusun undang-undang tersebut, dalam hal ini legislatif. Benar yang menjalankan
eksekutif, namun rakyat lebih berhak menuntut dan mengemukakan pendapatnya
kepada penyusun undang-undang. Kemudian ditindak lanjuti legislatif melihat
kembali apakah undang-undang yang diamanahkan kepada eksekutif berjalan. Jika
tidak dapat melakukan tuntutan kepada pihak yudikatif, berupa teguran atau
pembebas tugasan.
Kita lihat lagi
pada ayat kedua yang berbunyi : “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Seluruh warga
negara Indonesia memiliki kewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar.
Pendidikan dasar saat ini ialah SD dan SMP atau sederajat. Hal ini berkaitan
dengan Ayat 1 Pasal 6 dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan yang berbunyi “ Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Usia tujuh tahun usia awal anak masuk SD dan 15 tahun usia normal anak
lulus SMP. Maka jelas pendidikan dasar berkaitan dengan program wajib belajar 9
tahun.
Kita lihat di
ayat kedua tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa jika masyarakat tidak mampu dalam masalah
biaya maka pemerintah wajib membiayainya( atau tafsiran lebih luas seluruh
warga negara Indonesia wajib ditanggung biayanya dalam menjalankan pendidikan
dasar). Ini bersifat umum, jika kita
perhatikan segala usia apapaun setausnya menikah atau lajang mereka wajib untuk
mendapatkan pendidikan dasar. Tentu memasuki lembaga pendidikan mememiliki
syarat-syarat berupa batasan usia, setaus, serta perilaku yang terkontrol.
Jika pasal ini
betul-betul diterapkan, maka seluruh putra-putri bangsa yang memiliki usia
wajib belajar, diharuskan bersekolah tanpa terkecuali. Jika sekolahnya
kurang, pemerintah wajib mendirikan sekolah baru dalam rangka memenuhi hak warga
negaranya. Kemudia mereka yang usianya sudah lewat dari usia anak sekolah maka
tetap wajib mendapatkan pendidikan dasar melalui program kesetaraan paket A dan
paket B. Kemudian mereka yang terpaksa menikah di usia dini, serta yang
terlibat masalah hukum tetap memiliki kewajiban menjalankan progra wajib
mengikuti pendidikan dasar dengan program kesetaraan paket A dan paket B juga. Sehingga
diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, karena dalam
program pendidikan dasar tersebut juga dikembangkan keterampilan peserta didik
sesuai potensi yang dimiliki dan tuntutan tantangan zaman.
KOMITE SEKOLAH DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Masalah yang
lainnya partisipasi masyarakat terhadap komite sekolah masih minim. Komite
sekolah dibeberapa sekolah bahkan tidak ada atau bahkan dimonopoli kelompok
tertentu. Monopoli ini dapat bersifat sistematis, dengan hanaya melibatkan
orang-orang tertentu dalam komite sekolah, atau dominasi beberapa orang dalam
komite sekolah. Lebih banyak masyarakat yang acuh tak acuh terhadap komite
sekolah, padahal sekolah dan komite sekolah menjadi penentu kemajuan negara
ini. Peranan Komite sekolah sangat
berkaitan dengan maksud ayat (2) Pasal 6 dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa “Setiap
warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan”. Masyarakat melui komite sekolah memiliki tanggung jawab mebgawal
terselenggaranya program pendidikan sekolah.
Komite sekolah
sebagai kontrol anggaran sekolah. Semakin lemah komite sekolah semakin kuat
potensi korupsi di instasi lembaga pendidikan. Semakin baik keterlibatan komite
sekolah dalam menjalin hubungan dengan pihak lembaga sekolah semakin banyak
kemajuan yang akan didapatkan oleh suatu lingkungan belajar.
Hal ini
berkaitan dengan ayat 4 Pasal 31 UUD 1945 "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional".
Dari sini akan
sangat banyak anggaran negara digunakan untuk melakukan pendidikan dasar. Maka pengawasannya
harus dimulai dari pengawasan kinerja lembaga sekolah. Setra setiap wali murid harus cerdas memahami hukum perudang-undangan yang berlaku, karena pihak yang
korup akan berusaha melakukan pembodohan berupa manipulasi penafsiran peraturan
perundang-undangan. Misal masalah
BOS(Bantuan Oprasional Sekolah) yang memungkinkan wali murid tidak perlu
melakukan pembayaran fisik bahakn non fisik serta tidak perlu membayar gaji
guru SD dan SMP dapat dibelokkan dengan penafsiran bahwa BOS bantuan dari
pemerintah ala kadarnya.
Belum
bantuan-bantuan yang turun dari pemerintah perlu diperhatiakn dengan cermat.
Selain itu kebijakan-kebijakan sekolah perlu dikawal. Jangan sampai sekolah
menyingkirkan anak miskin dan tidak mampu dengan biaya yang mahal dengan dalih
peningkatan mutu pendidikan, seolah mutu pendidikan yang tinggi monopoli mereka
yang kaya. Mereka yang miskin, yang benar-benar membutuhkan pendidikan agar
tidak terus terjerembab oleh kemiskinan akibat kebodohan semakin ditenggelamkan
oleh jargon-jargon SNI dan SBI. Pemerintah sendiri sudah menjamin mereka yang
miskin sebagaimana dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 telah disebutkan disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Maka sepatutnya seberapa mahal biaya peningkatan mutu
kualitas pendidikan sekolah tidak layak memeras uang mereka si miskin. Mereka
sudah ada jaminan dari pemerintah. Dan pemerintah sebagamana jaminan terhadap
masalah kesehatan wajib membiayai seberapapun besar biaya yang dibutuhkan. Mereka
yang miskin adalah “pasien” pengindap “kebodohan” yang harus “diobati” hingga
sembuh. Hal ini berkaitan dengan bunyi Pasal
5 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang berbunyi “ Setiap warga
negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.”
Masalah ini juga berkaitan dengan Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan yang tertuang dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III Pasal 4 (1) yang berbunyi “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.”
Maka komite sekolah memilik peranan penting mewujudkan
pendidikan yang berkeadilan dan tidak diskeriminatif, setiap kompomen
masyarakat yang terlibat dalam komite sokolah harus berjuang melindungi mereka
yang miskin di hadapan pihak sekolah, bahkan dihadapan pemerintah daerah bila
perlu dikawal hinngga diperjuangkan dihadapan pemerintah pusat.
REALISASI PENDIDIKAN GERATIS DAN PASAL MATI
Namun bila tetap menggunakan
pola lama menjalankan
undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan hal ini menjadi tidak mungkin. Pasal-pasal yang saya sebutkan diatas belum
sepenuhnya bejalan bahkan banyak yang tidak dijalankan. Bisa saja belum
dijalakan pasal dan ayat diatas dihapuskan, maka hanya menjadi ayat dan pasal
bodong sepanjang sejarah. Undang-Undang tidak akan dapat disebut peraturan jika
sama sekali tidak pernah digunakan. Ini namaya pasal yang tertidur, jika belum
diterapkan sudah dirubah maka menjadi pasal mati.
Saat ini banyak
alasan pihak pemerintah untuk tidak segera menerapkan pendidikan geratis yang
di amanahkan UU. Argumen mereka lebih banyak mempermasalahkan dana, karena dana untuk pendidikan terbatas maka perlu
mengembangkan sektot perekonomian. Penalaran selanjutnya untuk memacu
perkembangan sektor pembangunan maka dibutuhkan investasi yang cukup besar. Dan
ivestasi paling besar didapat dari negara-negara maju. Konsekoensi selanjutnya negara perlu mengundang investor asing. salah satu oknum pemerintah yang kini terlibat kasus korupsi waktu kuliah umum di salah satu perguruan tinggi swasta mengatakan : "pembangunan ekonomi
dulu baru pendidikan".
Coba kita
nalar kembali, bagai mana mungkin membangun ekonomi kalau rakyatnya(SDAnya) masih terjerat
dengan kebodohan dan krisis percaya diri ? Yang akan terjadi seperti saat ini kita dijajah secara ekonomi oleh pemodal asing.
Bukan berarti penulis anti insvestasi, kalau memiliki kecendrungan tinggi
menggantungkan diri kepada
asing akan sangat berbahaya kedaulatan negara. Jika kedaulatan hilang negara kita hanya akan dijadikan negara boneka. Kedalulatan negara bukan hanya
kedaulatan secara formalitas, tetapi perlu kedaulatan sosial, politik, hukum
dan keamanan sehingga menjadi negara yang merdeka seutuhnya.
Masalah
penghambat pedidikan geratsi lainya antara lain sikap egois kalangan
birokrat yang mementingkan perut sendiri bukan kemajuan bangsa. Terbukti banyak kalangan birokarasi
yang terlibat kasus korupsi secara nasional maupun lokal. Sistem korupsi yang
akut dari pusat hingga pelosok desa. Maka program-program yang berjalan yang
memiliki peluang korupsi, berbeda dengan produk UU dibuat agar menarik simpatik
dan kepercayaan.
Korupsi banyak
terjadi di negara ini, bahkan dana pinjaman dari negara asing pun dikorupsi. Yang
menjadi pertanyaan : Mungkinkah negara donatur tidak mengetahui pinjaman dan
bantuannya dikorupsi ? Sangat tidak mungkin. Ada pembiyaran, karena maksud
mereka bukan hannya memberi pinjaman namun menguasai suatu negara lewat penguasaan
politik dan perekonomian.
Sebenarnya
masih banyak putra-putri bangsa yang memiliki SDM yang yang unggul namaun pemerintah kurang mengakomodasi Anak-anak yang memilik kepandaian diatas
rata-rata. Anak pandai banyak yang lari ke luar menjadi teknisi asing memajukan negara lain, atau tak sedikit anak yang memilik kepandaian diatas rata-rata
justeru menjadi perakit bom. Atau sebagian lagi cuman jadi penerus perusahaan milik orang tuanya. Hal ini jelas
bertentangan dengan Pasal 5 (4) UU Nomor 20 tahun 2003 Tentang
Sisdiknas yang berbunyi : “Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berha memperoleh pendidikan khusus”. Banyak
putra-putri calon penerus tampuk pimpinan yang tidak terakomodir sehingga
mereka lebih memilih untuk menempuh jalannya sendiri-sendiri.
Pelaksanaan
pendidikan geratis harus dimulai dengan mengeratiskan program pendidikan dasar.
Dari SPP, seragam, perlengkapan belajar hingga LKS dan buku belajar siswa harus
betul-betul menjadi jaminan dalam pendidikan geratis. Jika secara nalar
sebenarnya pelajar tidak patut membayar pendidikan, terlebih membayar mahal.
Namun mereka seharusnya digaji karena mereka berjuang memikirkan bangsa. Namun
pola kita yang masih mengatakan pendidikan itu mahal, perjuangan pelajar untuk
digaji sangat panjang. Sedangkan pendidikan geratis yang diamanatkan
undang-undang belum sepenuhnya berjalan.
Maka dari itu kita perlu
melakukan pengawasan
ketat jalannya undang-undang yang menyangkut masalah pendidikan. Banyak yang harus dilakukan diantaranya
mobilisasi anak/orang tua putus
sekolah dengan paket A,B,C. Selain itu yang paling pokok pemerintah harus mengakomodasi anak tidak mampu dengan program bea siswa penuh (jaminan geratis bersekolah) atau sekolah terbuka. Dan proteksi anak-anak yang malas sekolah dengan
pendidikan luar biasa.
Sehingga terus terjaga terjaga potensi anak-anak
pandai untuk terus
mereka kembangkan. Karena selama ini banyak yang terseleksi dalam artian
tersinkirkan dari pendidikan lanjut karena permasalahan finansial. Banyak anak
SD yang memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan tidak melanjutkan
pendidiakan. Sentara banyak anak-anak yang kalah dengan anak tersebut justeru
melanjutkan pendidikan. Hal ini juga terjadi ketika di SMP,SMA bahkan di Perguruan Tinggi. Bahkan tidak sedikit anak berbakat
putus sekolah ditengah jalan hanya karena permasalah ekonomi. Sedangkan banyak
yang disekolah prestasi rendah, tidak aktif belajar, bahkan sering bolos.
Sebenarnya mereka yang mendapat pendidikan cukup layak namun menyianyiakan
pendidikan mereka telah merampas hak anak-anak yang layak mendapatkannya.
Fasilitas pendidikan semestinya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik,
namaun yang terjaid disesuaikan dengan kaontong wali murid. Masalah pengembangan fasilitas
pendidikan sepatutnya sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 ayat
(5) yang berbunyi “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Selain itu saat ini
jumlah guru bulum mencukupi dengan perbandingan siswa yang harus dididik. Sepatunya tidak perlu ada kerisauan di FKIP banyak peminat, karena jika Undang-undang
pendidikan dicoba untuk dijalankan secara soprtif hal ini bukan permasalahan, karena kita masih dalam kategori kekurangan guru. Standar yang optimal dalam satu kelas maksima 20 peserta didik. Idealnya lagi guru pembimbing 1 dengan asisten guru 2 hingga 4 orang (pola
pembelajaran kursus). Sehingga proses pembelajaran menjadi
lebih efektif. Maka masih sangat diperlukan jumlah guru dan bangungan
sekolahan.
Hal yang cukup
ironis bahwa saat ini masih ada sekolah yang terancam tutup, dan penyebab tutup
skolah tersebut disamping permasalahan murid sedikit juga karena mobilitas dan kedisiplinan guru
kurang maka minim peminat. Kenyataannya masih banyak murid yang tidak tertampung
untuk sekolah, pengaturan proposional murid dan sekolah jika wajib belajar
benar-benar dilakukan tidak perlu terjadi. Jika satu wilayah terdapat anak-anak usia sekolah
yang seluruhnya terserap dalam lingkungan belajar dan ternyata masih banyak sekolah
yang sepi murid, maka dapat mengimpor murid dari wilayah yang kekurangan
bangunan sekolah. Sedang alangkah ironis jika ada guru yang mobilitas rendah, jarang masuk dan
asering telat. Karena masih banyak calon guru yang belum mendapat kesempatan
mengajar.
Sesuai dengan
amanah UUD maka Pemerintah
menganggarkan pendidikan 20% sbenarnya untuk membiayai pendidikan dasar dapat dikatan lebih dari
cukup. Kemudian pemerintah daerah
baik provinsi maupun kabupaten harus didorong mengalokasikan angaran pendidikan sebesar 25%-15%. Misalkan tanggunggan pemerintah
kabupaten fokus kepada menggeratiskan sekolah menengah atas dan sederajat. Kemudian
Pemerintah pusat program sekolah geratis pada Diploma dan Setrata 1 yang
disesuaikan dengan kebutuhan daerah, serta wajib setelah wisuda selama lima
tahun berkontribusi kepada daerah (konsep pengabdian). Hal ini dapat menyelesaiakn masalah
penganguran dan pemberdayaan putra-putri daerah yang potensial.
Selanjutnya
juga pegawai pemerintah dan aparatur pemerintahan dari presiden hinga bupati, para mentri dan anggota dewan juga perlu menghibah uang misalkan 10 juta buat bantuan biaya pendidikan. Bila sistem terus di kembangkan tidak menuntup kemungkinan pada
penggeatisan S2 dan S3.untuk menuju hal tersebut diawali dengan memberikan bea
siswa yang layak tentunya dengan ikatan kontrak. Janagan sampai setelah
mendapat beasiswa justeru pindah keluar negeri menjadi pegawai negara asing. Negara
jeas kecolongan mebiayai seorang yang tidak memiliki jiwa patriotis.
Maka pendidikan geratis dinegara ini bukanlah hal yang mustahil jika benar-benar ada tekat untuk mewujudkan.