Selasa, 09 September 2014


     Ketika kita hendak membuat cerita, hendaknya terlebih dahulu gali inti dari cerita yang akan Anda buat. Inti (esensi) dari cerita adalah cerita(narasi) itu sendiri. Di dalam cerita ada rangkaian kata. di dalam rangkaian kata ada hikmah, pesan, pemikiran dan perasaan yang dimiliki penulis. Selanjutnya saya sebut sebagai jantung narasi. Tanpa Jantung narasi cerita yang ditawarkan sama saja kita menyodorkan makanan tidak bergisi, sampah nutrisi kepada pembaca. Agar rangkaian kata tersebut mampu memancarkan hikmah, maka perlu pemilihan kata yang tepat sehingga membentuk rangkaian kata yang indah, mengugah, menyentuh atau membangkitkan emosional sesuai yang di harapkan penulis.

    Kemudian agar pesan-pesan penulis tersampaikan, maka perlu pengaturan alur yang tepat. Semenarik mungkin yang membangkitkan gairah pembaca--rasa penasaran untuk terus membaca, serta ada rasa kepuasan atau ketidak puasan--sesuai tujuan penulis dan jenis cerita. Jika cerpen tak masalah menimbulkan ketidak puasan, karena keterbatasan halaman. Namun jika itu novel atau novelet ketidakpuasan akan menjadi bumerang, dengan  timbulnya sikap dari pembaca untuk tidak mau membaca dan menggali lagi karya tersebut. Namun jika rasa ketidakpuasan penulis diolah menjadi rasa penasaran yang ditimbulkan setelah membaca sehingga memunculkan novel kedua dan seterusnya, ini tentunya cukup bagus.

     Kalau cerpen menimbulkan cerpen baru sehingga menjadi cerbung. ketika pada titik kelimaks novel akhir(cerita) harus ada nilai kepuasan. percumah kita mengiring mereka sampai ke dalam berbuku-buku cerita tapi tidak mendapatkan apa-apa. Dan setelahnya melupakan begitu saja atau memberi masukan negatif kepada pembaca baru, nauzubillah. Cerita akhir dari rangkaian-rangkaian cerita yang menimbulkan ketidakpuasan ini disebabkan tidak ada alur berpikir sedari awal untuk membentuk akhir cerita. Atau penulis kehabisan ide untuk membuat cerita baru yang berkaitan dengan cerita awal, maka akan ada pergulatan yang saling membunuh antara cerita awal dengan ide cerita baru. Alangkah baiknya jika kehabisan ide membentuk cerita baru yang berkaitan dengan cerita sebelumnya lebih baik membuat ketertarikan penulis dengan karya-karya kita selanjutnya. Maka produktivitas menghasilkan tulisan-tulisan yang berkualitas menjadi tantangan bagi penulis setelah menghasilkan karya yang mendapat respon positif masyarakat.

    Kemudian setelahnya berbicara alur dan latar. Latar ini funsinya memperjelas serta memperindah rangkaian kata. Penulis yang baik memiliki daya imajinasi yang tinggi, daya imajinasi penulis yang baik adalah mampu menyeret daya imajinasi pembaca ke dalam cerita. Pembaca benar-benar masuk ke dalam cerita, sehingga dapat menemukan hikmah, pesan, pemikiran, dan perasaan penulis. Bukan sekedar tahu maksud penulis, namun ikut merasakan, ikut memikirkan, dan ikut merenungkan. sehingga tujuan dari cerita membawa pembaca ke perilaku lebih baik bisa tercapai. Penggambaran latar yang baik dapat berupa kata-kata puitis tentang keadaan alam, pengambaran lingkungan sekitar para tokoh yang bagus, melekatkan dengan suasana hati tokoh, dapat juga dengan deskripsi nakal atau metafora seprampanga. Kalau novel, bagaian demi bagaian latar bagus secara medetail dijelaskan, lebih bagus lagi dengan kata-kata barnas dan menimbulkan asosiasi lingkungan tanpa memboroskan banyak kata.

    Variabel selanjutnya adalah penokohan. agar cerita hidup sesuai dengan realita sekalipun cerita tersebut fiktif, perlu ditampilkan karakter-karakter yang kuat. Jika karakter baik maka pembaca bisa mencontoh menjadi karakter tersebut, jika karakter buruk pembaca bisa merasakan jijik dan ingin menghilangkan karakter tersebut jika ada pada dirinya.

    Maka dalam penokohan dibuat senatural dan realistis pada zamanya, sehingga pembaca bisa meniru atau menghilangkan karakter yang dicontohkan. Percuma buat apa menampilkan karakter yang terlampau imajinatif, hanya menguapkan daya bayang pembaca. Misal sifat kenabian yang begitu sempurna dalam menjaga hati ditampilkan ke dalam suatu tokoh imajinatif, ini hanya sekadar menjadi figuratif dalam cerita, kecuali sekalian memang cerita tentang kenabian justeru bagus. Sebaik apa pun manusia jaman sekarang tentu memiliki sisi buruk, baiknya orang baik jaman sekaran selalu berusaha menghilangkan sisi buruk tersebut. Pembaca yang ingin menjadi baik tentu berharap ditawarkan alaternatif-alternatif menuju kebaikan oleh pembaca.

   Sisi jahat juga seperti itu, jika penjahatnya berwatak Iblis tentu sulit diterima hanya menimbulkan jengkel. permasalahan sekarang banyak orang jahat yang tidak peduli dirinya jahat disebabkan pandangan-pandangannya yang membentuk bahwa dirinya benar, dan baik. di sampin dirnya memiliki sisi-sisi baik sebagai manusia, yang kadang di justifikasi sebagai pembenaran kejahatannya.
pembentukan karakter dapat diperoleh melalui diskripsi narasi, bentuk fisik, pola gerak dan tipologi raut muka. dapat juga melalui cara berbicara dalam obrolan serta cara meresponnya. Melaui nada bicara, reaksi wajah atau gerak tubuh. cara yang lain yang dapat digunakan adalah meraba isi hati tokoh, biasanya dapat dilakukan oleh sudut pandang orang ketiga serba tahu. Ketika semua terangakai dengan baik, maka perlu memilih judul yang kuat, yang mewakili keseluruhan isi, menimbulkan rasa penasaran serta daya tarik. Judul baik biasanya timbul setelah menulis.

   Demikian suatu cerita dalam membuat prosa yang menurut saya bisa diabdosi dalam bentuk tulisan yang lain sesuai dengan kebutuhan. Cerita tanpa pesan seperti saya bilang hanya memberikan sampah kepada pembaca. Dampak selanjutnya pembaca keracunan dengan cerita kita, bukan menjadi baik sesuai diharapkan. hal ini berkaitan dengan tujuan dari penulis itu sendiri, sangat berbahaya jika tidak memiliki tujuan moral.

   Tulisan yang narasinya baik hanya membuat pembaca meraba perasaan penulis dan tidak membuat ikiut merasakan. Tulisan yang alurnya baik, hanya menyihir penulis ke dalam jalan cerita yang memukau tanpa tahu dan bisa memetik hikhah dari suatu tulisan. Tulisan jenis ini jika pembaca ditanya “kenapa kamu baca tulisan itu?” maka jawabanya hanya “senang saja!” wajar pembaca menjawab seperti itu dapat saja penulisnya juga menjawab “senang saja menulis”. Jadi tulisan bukan saja alat meunangkan perasaan, tetapi media untuk mengantarkan pemikiran, cita-cita luhur serta pesan nurani yang murni. Sehingga sampai akhir zaman jika tulisan tersebut masih ada selalu ada mutiara yang dapat di amabil ketika pembaca menggali tulisan. Tulisan yang baik bukan sekadar dibaca pembaca, namun mampu dikenang dalam lintas zaman dan generasi. Pembaca akan membentuk kontekstualisasi tulisan kita, walau banyak teks yang tidak relevan lagi namun yang namanya mutiara hikmah berbentuk apapun narasi, alur, cerita bahkan zamannya akan terus bersinar dan memberi keteduhan ketika melakukan kontak dengan manusia yang masih memiliki nurani murni.

****

Barep Pangestu 02 Januari 2014

Like juga halaman saya  https://www.facebook.com/pages/Wahid-Muslim/314332858733209?fref=ts