Rabu, 23 Februari 2011


PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Menurut Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, jenis pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jalur, yaitu jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di masyarakat, pendidikan formal biasa dikenal sebagai SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Dalam pendidikan formal, siswa belajar dan dididik menurut kurikulum tertentu, diadakan di sekolah, serta belajar menurut materi ajar dan jadwal yang ditetapkan sebelumnya.

Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki karakteristik masing-masing, kemampuan yang berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah karena alasan tertentu, ia berhak untuk memilih pendidikan alternatif lain yang dapat memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan yang berkualitas, serta nilai-nilai iman dan moral yang tertanam dengan baik. Namun, melihat fakta bahwa tidak semua siswa merasa cocok dengan pembelajaran yang dilakukan di kelas, tidak terpenuhinya kebutuhan siswa karena keterbatasan waktu dan materi yang padat, kurang berkembangnya kemampuan siswa dalam bidang non-akademik karena tidak setiap sekolah mempunyai fasilitas untuk mengembangkannya, serta kurangnya pengembangan di bidang keagamaan, muncullah ide orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Hal ini yang menjadi latar belakang berdirinya home schooling. Keberadaan home schooling yang sah di mata Undang-undang membuat home schooling menjadi pendidikan alternatif yang akhir-akhir ini mulai banyak dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.

2. RUMUSAN MASLAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut. “Bagaimana keberadaan home schooling sebagai pendidikan alternatif di Indonesia?”

3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah untuk mengetahui keberadaan home schooling sebagai pendidikan alternatif di Indonesia.

4. MANFAAT PENULISAN

Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:

  • Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai home schooling khususnya home schooling di Indonesia.
  • Menjadi bahan rujukan mengenai salah satu pendidikan alternatif di Indonesia.

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN HOME SCHOOLING

Istilah home schooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Home schooling dikenal juga dengan nama homeschooling, home-based education, home education, home-schooling, unschooling, deschooling, a form of alternative education, sekolah mandiri atau sekolah rumah. Pengertian umum home schooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (Sumardiono dalam Simbolon: 2008).

2. SEJARAH HOME SCHOOLING

Menurut John Cadlwell Holt (Simbolon, 2008), filosofi berdirinya home schooling adalah manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya. Didorong oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono dalam Simbolon, 2008). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, kemudian Holt menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education dan Ways to Help People Do Things Better pada tahun 1976. Buku ini mendapat sambutan hangat dari para orangtua pendukung home schooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting home schooling. Setelah itu, home schooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan home schooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA HOME SCHOOLING

  • KEGAGALAN SEKOLAH FORMAL

Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan home schooling karena dinilai dapat menghasilkan pendidikan bermutu.

  • SOSOK HOME SCHOOLING TERKENAL

Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home schooling. Misalnya Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, serta tokoh dalam negeri seperti K.H. Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara.

  • TERSEDIANYA SARANA PENDUKUNG

Perkembangan home schooling ikut dipicu oleh perkembangan sarana dan fasilitas. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual).

4. KURIKULUM DAN MATERI PEMBELAJARAN HOME SCHOOLING

Kurikulum pembelajaran home schooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner home schooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat.

5. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN HOME SCHOOLING

  1. KELEBIHAN
  • Memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum.
  • Menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik.
  • Menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan.
  • Memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya.
  • Memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
  1. KEKURANGAN
  • Tidak adanya suasana kompetitif sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusianya.
  • Keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah.
  • Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan.
  • Proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

6. DASAR HUKUM HOME SCHOOLING

Keberadaan home schooling legal di mata hukum Indonesia. Home schooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Hal ini termuat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pendidikan informal.

Selanjutnya, ketentuan mengenai kesetaraan diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6): “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”. Siswa yang mengikuti home schooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan sekolah formal yang lebih tinggi.

7. MODEL- MODEL HOME SCHOOLING

Menurut Depdiknas (Sumardiono, 2006), home schooling (sekolah rumah) pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Sekolah rumah tunggal, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua/wali terhadap seorang anak atau lebih terutama di rumahnya sendiri atau di tempat-tempat lain yang menyenangkan bagi peserta didik, dan (2) Sekolah rumah majemuk, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh para orang tua/wali terhadap anak-anak dari suatu lingkungan yang tidak selalu bertalian dalam keluarga, yang diselenggarakan di beberapa rumah atau di tempat/fasilitas pendidikan yang ditentukan oleh suatu komunitas pendidikan yang dibentuk atau dikelola secara lebih teratur dan terstruktur.

8. HOME SCHOOLING DI INDONESIA

Perkembangan home schooling di Indonesia belum diketahui secara pasti karena belum ada penelitian khusus tetang asal mula perkembangannya. Namun, sebenarnya ada beberapa home schooling yang muncul di sekitar kita salah satunya adalah home schooling kak seto dengan metode mengajar yang unik school home kak seto mengutamakan kenyamanan si anak dalam belajar. Di home school kak seto tidak hanya mendidik anak secara biasa tetapi juga mendidik secara mental dan school home kak seto merupakan solusi dalam mencari homeschooling berkualitas di indonesia. Tak hanya di jakarta home schooling kak seto didirikan home school kak seto juga ada di cirebon dan bandung Dengan metode pengajaran yang tepat menjadikan homeschooling kak seto merupakan pilihan yang terbaik para pencari homeschooling di jakarta maupun di bandung atau corebon. Dengan metode dari kak seto yang membimbing mental anak kak seto juga memberikan metode untuk pengajaran yang baik sesuai umur sang anak. Homeschooling kak seto merupakan pilihan yang baik bagi orang tua yang ingin memberikan home schooling bagi anaknya. Jika dilihat dari konsep home schooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di pendidikan formal, ternyata home schooling telah dipraktekkan oleh beberapa tokoh seperti K.H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka. K.H.Agus Salim memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah sehingga mereka tidak hanya pandai membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga memperdalam keislaman dan menguasai berbagai bahasa asing. Sementara itu, jika merunut pengertian home schooling ala Amerika Serikat, home schooling di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Saat ini, perkembangan home schooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Home schooling dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang tidak merasa cocok dengan kurikulum pendidikan formal seperti kurangnya penekanan pada pendidikan keimanan maupun materi ajar yang padat serta keinginan untuk meluangkan waktu yang lebih banyak bersama anaknya. Keberadaan home schooling sebagai pendidikan alternatif di Indonesia sangat penting mengingat fleksibilitas home schooling yang dapat dilakukan dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.

2. SARAN

Bagi orang tua yang merasa sistem pendidikan formal kurang dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya, home schooling dapat dijadikan sebagai salah satu solusi. Karena banyak juga manfaat yang dapat dirasakan melalui home schooling ini, terutama bagi anak dalam mengembangkan potensi dirinya. Model pembelajaran yang dilakukan oleh home schooling adalah model pembelajaran humanisme. Anak diberikan kebebasan untuk bisa mengaktualisasikan diri dengan bebas tanpa tekanan dari lingkungan. Dalam model pembelajaran ini, anak dituntut untuk berfikir induktif. Pembelajaran yang lebih mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatkan aktif oleh anak dalam proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, M. (2006). Pendidikan Alternatif di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/09/12/pendidikan-alternatif-di-indonesia/.

Simbolon, P. (2008). Homeschooling sebagai Pendidikan Alternatif. [Online]. Tersedia: http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.

Sumardiono (2006). Model Home Schooling. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=310&Itemid=80.

_____. (2007). Homeschooling Semakin Meluas. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=698&Itemid=79.

Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Sinar Grafika _____. Pendidikan Formal. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal.

Copy paste dari:

http://tokay.blog.uns.ac.id/2010/01/10/ -formal-boy/ home-schooling-sebagai-alternatif-pembelajaran

Gap akademi-industri adalah masalah turun temurun yang memang tidak begitu mudah dipecahkan. Negara-negara maju dengan level penelitian tingkat tinggi seperti Jepang dan Amerika-pun tetap menganggap ini sebagai isu penting, yang kalau diperdebatkan bisa tanpa akhir, never ending story :) Sempat menjadi topik hangat di berbagai jurnal internasional, dipanas-panasin oleh Research Policy terbitan Elsevier Science, dikupas tuntas oleh Journal of Higher Education, dan dinyanyikan dengan indah oleh National Science Board (NSF) yang menyusun paper menarik berjudul University-Industry Research Relationships di tahun 1986.


Researcher cartoon



Sebenarnya gap akademi-industri terlahir karena memang sudut pandang, pola pikir dan karakter yang berbeda antar keduanya. Di beberapa sisi mungkin bisa disatukan, meskipun di sisi lain ada beberapa karakter yang embedded dan sulit untuk disatukan. Perbedaan sudut pandang tersebut saya rangkumkan di bawah.


Perbedaan sudut pandang Akdemi dan Indsutri



Dari tabel diatas bisa kita analisa, orientasi tugas para akademisi yang mengajarkan pengetahuan dan bukan memproduksi produk atau layanan, membawa efek samping para peneliti dan dosen di universitas relatif lebih berkarakter teoritis. Sebaliknya industri lebih praktis dan pragmatis ke arah how to sell a good product or service, karena dari situlah profit datang. Arah pendidikan di universitas juga lebih luas, lengkap dan komprehensif, meskipun tidak dalam. Akademisi bertugas di wilayah pengembangan mental, peningkatan kemampuan konseptual, kecerdasan analisa dan skill teknis dasar dari para mahasiswa. Di sisi lain, industri menuntut pegawai lebih profesional, mahir dan sangat dalam menguasai suatu skill.

Jabatan fungsional peneliti dan dosen yang jenjangnya ditentukan oleh kredit (kum) dari paper juga mempengaruhi karakter peneliti dan dosen kampus untuk bermain-main di area topik teoritis dan pengembangan ilmu. Enak kalau di-nggedabruskan di paper, begitu komentar sahabat-sahabat peneliti saya :) Njomplang sekali dengan kondisi industri yang selalu berpikir produk dan service, dengan deadline waktu yang sangat ketat dan penuh tekanan. Ditambah lagi, peneliti di universitas sudah sangat kelelahan dengan aktifitas mengajar di kelas, sehingga penelitian bagi mereka adalah bersifat part time. Tren SDM IT ke depan yang arahya membentuk para spesialis yang punya kemampuan verbal dan tulis (versatilist), plus dengan modal keseimbangan keunggulan defato (kreatifitas) dan dejure (degree, sertifikasi), menambah berat beban para akademisi dalam mendidik para mahasiswanya.

Saya tidak berusaha mengatasi masalah ini, karena mungkin memang tidak memungkinkan. Saya hanya mengusulkan empat cara menyikapi gap akademi-industri ini. Dua cara yang berwarna hijau dan biru mungkin biasa kita lakukan, dan sudah dilontarkan oleh banyak peneliti, meskipun saya beri sedikit strategi yang biasanya terlewat. Dua yang berwarna orange dan pink adalah tindak lanjut setelah dua pertama selesai.


empat cara menyikapi gap akademi-industri



1. PERBAIKI KURIKULUM DAN PROSES PENDIDIKAN

Jujur saja, kurikulum computing di Indonesia (versi APTIKOM) yang mengacu ke IEEE Computing Curricula 2005 sudah pada posisi yang benar. Meskipun ada proses adaptasi yang saya pikir agak keterlaluan, khususnya di jurusan dan prodi yang bernama Teknik Informatika. Teknik Informatika terlalu dipaksakan menerima tiga disiplin ilmu computing yang digariskan oleh IEEE, yaitu Computer Science, Software Engineering dan Information Technology. Saya pernah bahas di artikel tentang memilih jurusan computing. Mungkin perlu digarisbawahi bahwa jurusan Computer Science mendidik para scientist yang fasih berbicara konsep komputasi, jurusan Information Technology mendidik para network and telecommunication engineer, sedangkan Software Engineering adalah jurusan untuk para calon software engineer. Tentu sangat berat apabila semuanya dimampatkan ke satu jurusan bernama Teknik Informatika, akhirnya lulusan menjadi tidak jelas dan tidak fokus kompetensinya apa. Mari kita lihat sedikit tentang gambaran disiplin computing menurut IEEE Computing Curricula 2005.


gambaran disiplin computing menurut IEEE Computing Curricula 2005



Beberapa pemikiran saya lain berhubungan dengan perbaikan kurikulum dan proses pendidikan saya rangkumkan di bawah:

  • Tidak ada satupun dari 5 disiplin ilmu computing diatas yang membolehkan atau mentoleransi ketidakmahiran mahasiswa dalam hal programming. Cek kembali gambar perbandingan penguasaan materi di artikel saya sebelumnya. Baik CE, IS, CS, IT dan SE mensyaratkan mutlak penguasaan bahasa pemrograman, grafik selalu menonjok ke tengah yaitu Software Method and Technologies. Jangan sampai dosen atau peneliti di kampus sampai mengatakan bahwa coding dan programming tidak wajib untuk salah satu jurusan atau prodi diatas, itu mencederai dunia kurikulum IT di Indonesia :)

  • Fokuskan ke satu bahasa pemrograman utama dan gunakan untuk penugasan di setiap mata kuliah. Capai level mahir di satu bahasa programming baru berpindah ke bahasa pemrograman yang lain. Jangan buat mahasiswa pusing karena terlalu banyak bahasa pemrograman yang kita ajarkan ke mereka, sampai mereka akhirnya tidak memahami satupun :)

  • Libatkan mahasiswa dalam berbagai project riil untuk melatih dan mendekatkan ilmu yang dipelajari ke dunia industri

  • Bila memungkinkan hindari ujian bergaya multiple choice, arahkan ke develop project atau laporan analisa

  • Didik mahasiswa untuk memiliki kemampuan verbal dan tulis:
    1. Wajibkan mahasiswa memiliki blog, tempat mereka menuliskan aktifitas, laporan tugas (project) dan tempat membina kemampuan tulis

    1. Laporan (project) harus dipresentasikan di depan kelas baik tim maupun individu, sarana membina kemampuan verbal



2. PERBAIKI KUALITAS PENELITIAN

Yang pertama perlu diungkapkan adalah, saya menemukan masalah dan isu penting yang terlewat pada penelitian mahasiswa dan dosen IT kita di Indonesia. Saya rangkumkan beberapa di bawah, dan juga saya sempat kupas di artikel tentang penelitian.

  • Banyak penelitian dilakukan tanpa didasari masalah penelitian yang baik

  • Banyak penelitian menghasilkan produk software tanpa pengukuran penelitian (seberapa jauh menyelesaikan masalah yang diset di depan)

  • Penelitian terlalu muluk, padahal banyak masalah penelitian yang bisa diangkat dari sekitar kita

  • Penelitian mahasiswa sering tidak terbimbing dan terkoordinasi dengan baik, dan tidak berdasar kepada core competence dosen (coba terapi Research-based University?)



Konsep research-based university akan saya jelaskan lengkap di artikel lain, tapi paling tidak unsur-unsur dasarnya adalah seperti dibawah.

  • Lab Penelitian (LP) atau Research Group (RG) adalah unit kerja terkecil di universitas

  • RG fokus ke satu topik utama penelitian (peminatan) yang ditentukan berdasarkan core competence dosen peneliti, contoh:
    • Lab Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineer)

    • Lab Multimedia (Game Technology, Multimedia Interaktif)

    • Lab Jaringan (Network Engineer)

  • RG dipimpin oleh seorang dosen dan memungkinkan beberapa dosen yang memiliki tema yang sama bergabung

  • Pembimbingan langsung oleh dosen dan dilakukan meeting progress report pekanan

  • RG adalah “tempat nongkrong/nginep/kumpul” mahasiswa tahun/semester terakhir dalam tema penelitian yang sama

  • 6-12 bulan terakhir setiap mahasiswa masuk RG sesuai dengan topik penelitian yang diinginkan

  • Penelitian mahasiswa yang sudah baik, diikutkan ke seminar atau conference baik lokal maupun internasional



Siapa yang diuntungkan dengan konsep research-based university?

  1. Siswa : Tidak bingung dan liar dalam menentukan judul penelitian. Juga memiliki pengalaman mengerjakan penelitian yang berkualitas

  1. Dosen : Memiliki tim (anggota RG) untuk mengerjakan project penelitian dan bahkan menyusun materi kuliah. Dosen juga akan terdongkrak jumah publikasi ilmiah (dari bimbingan skripsi mahasiswa)

  1. Universitas : Brand image terangkat, kalau hasil penelitian mau diopen-kan di internet, bisa terdongkrak rangking webometrics dan diakui sebagai research based university



Semua diuntungkan dan saya pikir sudah saatnya kita menuju ke research-based university. Untuk universitas yang masih senang dengan branding untuk mencari kuantitas jumlah mahasiswa, ayo agak sedikit kurangi. Mari arahkan dan alokasikan budget untuk menuju research-based university.


3. BE A TECHNOPRENEUR

Saya mengajak peneliti di dunia universitas dan akademi untuk mencoba menjadi technopreneur. Dengan menjadi technopreneur, kita akan belajar menganalisa kebutuhan pasar, mengerti apa permasalahan dalam membuat produk, memahami dengan baik bagaimana sebuah bisnis bergerak. Kemampuan dan kristalisasi keringat yang kita dapatkan dari menjadi technopreneur akan menjadi shock theraphy yang baik ketika kita melakukan penelitian. Penelitian kita akan juga membumi, mengikuti bagaimana pasar bergerak, dan kita secara tidak sadar juga akan men-drive mahasiswa bimbingan kita untuk mengambil tema penelitian yang dekat dengan industri. Saya pikir tren dan pola pikir seperti ini akan mendekatkan karakter dan mengurangi gap antara university dan industri. Ingat bahwa Jerry Yang, Larry Page dan Sergey Brin juga adalah berlatar belakang akademisi yang kental :) Penelitian Duo-Google, Brin dan Page, tentang software agent alias robot crawler menjadi nafas perusahaan Google, algoritma Page Rank juga adalah hasil penelitian yang dipatenkan atas nama Stanford University.

4. MARKETING YOURSELF

Saya mengajak para civitas akademia untuk mencoba memasarkan hasil penelitian kita, yang sebelumnya didahului dengan personal marketing and branding (marketing yourself). Mengenalkan, memasarkan dan melakukan image branding ini bukan hanya lewat event conference ilmiah, publikasi conference proceedings atau jurnal ilmiah. Tapi juga lewat tulisan populer, lewat tulisan ringan dengan menggunakan bahasa manusia yang baik dan benar, dengan mengandalkan media Internet dan blog sebagai sarana utamanya. Masyarakat dan industri di Indonesia tidak membaca prosiding dan jurnal ilmiah, mari kita sebagai peneliti ikhlash dan mengalah dengan mengurai penelitian kita dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan pahamnya masyarakat dan dunia industri, penelitian kita mungkin dengan mudah bisa mereka serap. Dan khusus untuk industri, siapa tahu ada kebutuhan industri yang ternyata match dengan hasil penelitian kita.

Satu kisah unik, bagaimana saya dulu melakukan penelitian tentang mengembangkan model motivasi komunitas untuk e-Learning. Ternyata kemudian laku saya jual dan terapkan sebagai strategi untuk penerapan eLearning di Merpati Airlines, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan beberapa Bank yang meminta saya sebagai konsultan dan implementor e-Learning di perusahaan mereka.!




http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Mempersempit%20Gap%20antara%20Akademi%20dan%20Industri&&nomorurut_artikel=219

Kata “manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.

Pertanyaan mendasar adalah “Mengapa diperlukan manajemen?”. Jawaban dari pertannyaan ini terkait dengan kepentingan manusia dalam melaksanakan kegiatannya. Karena adanya keterbatasan sumber daya dan ketidakpastian di waktu yang akan datang menuntut adanya manajemen yang baik agar proses yang dijalankan berlangsung secara efektif dan efisien. Secara skematis jawaban dari pertanyaan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:


MANAJEMEN

P O A C

Input

Output

· Keterbatasan sumber daya

· Ketidakpastian masa depan

· Proses yang Efektif

· Proses yang Efisien

Secara umum, ada empat fungsi manajemen yang sering orang menyebutnya “POAC”, yaitu Planning, Organizing, Actuating, dan Controling. Dua fungsi yang pertama dikategorikan sebagai kegiatan mental sedangkan dua berikutnya dikategorikan sebagai kegiatan fisik. Suatu manajemen bisa dikatakan berhasil jika keempat fungsi di atas bisa dijalankan dengan baik. Kelemahan pada salah satu fungsi manajemen akan mempengaruhi manajemen secara keseluruhan dan mengakibatkan tidak tercapainya proses yang efektif dan efisien.

-Planning

Planning adalah kemampuan untuk merencanakan suatu tindakan yang tepat dan akurat. Untuk memudahkan menyusun rencana tersebut maka harus bisa menjawab rumus 5W+1H yaitu WHAT (apa) yang akan dilakukan, WHY (mengapa) harus melakukan apa, WHEN (kapan) melakukan apa, WHERE (dimana) melakukan apa, WHO (siapa) yang melakukan apa, HOW (bagaimana) cara melakukan apa.

- Organizing

Organizing adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan pembagian tugas. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, dan pada tingkatan mana keputusan harus diambil.

- Actuating

Actuating adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan bagaimana cara menggerakkan kerabat kerja (sumber daya manusia) sesuai dengan pembagian tugas yang telah dilakukan pada fungsi Organizing. Jadi, actuating mempunyai prinsip menggerakkan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan (leadership).

- Controling

Controlling adalah suatu proses pengawasan untuk mengukur atau membandingkan antara perencanaan yang telah dibuat dengan pelaksanaan yang telah di capai. Dengan adanya pengawasan ini, diharapkan tidak akan terjadi kesalahan atau penyimpangan. Biasanya kelemahan pada fungsi inilah yang paling sering membuat gagalnya suatu manajemen.

Dari ;

http://perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=78:mengenal-fungsi-manajemen&catid=38:artikel&Itemid=66