Gap akademi-industri adalah masalah turun temurun yang memang tidak begitu mudah dipecahkan. Negara-negara maju dengan level penelitian tingkat tinggi seperti Jepang dan Amerika-pun tetap menganggap ini sebagai isu penting, yang kalau diperdebatkan bisa tanpa akhir, never ending story :) Sempat menjadi topik hangat di berbagai jurnal internasional, dipanas-panasin oleh Research Policy terbitan Elsevier Science, dikupas tuntas oleh Journal of Higher Education, dan dinyanyikan dengan indah oleh National Science Board (NSF) yang menyusun paper menarik berjudul University-Industry Research Relationships di tahun 1986.
Sebenarnya gap akademi-industri terlahir karena memang sudut pandang, pola pikir dan karakter yang berbeda antar keduanya. Di beberapa sisi mungkin bisa disatukan, meskipun di sisi lain ada beberapa karakter yang embedded dan sulit untuk disatukan. Perbedaan sudut pandang tersebut saya rangkumkan di bawah.
Dari tabel diatas bisa kita analisa, orientasi tugas para akademisi yang mengajarkan pengetahuan dan bukan memproduksi produk atau layanan, membawa efek samping para peneliti dan dosen di universitas relatif lebih berkarakter teoritis. Sebaliknya industri lebih praktis dan pragmatis ke arah how to sell a good product or service, karena dari situlah profit datang. Arah pendidikan di universitas juga lebih luas, lengkap dan komprehensif, meskipun tidak dalam. Akademisi bertugas di wilayah pengembangan mental, peningkatan kemampuan konseptual, kecerdasan analisa dan skill teknis dasar dari para mahasiswa. Di sisi lain, industri menuntut pegawai lebih profesional, mahir dan sangat dalam menguasai suatu skill.
Jabatan fungsional peneliti dan dosen yang jenjangnya ditentukan oleh kredit (kum) dari paper juga mempengaruhi karakter peneliti dan dosen kampus untuk bermain-main di area topik teoritis dan pengembangan ilmu. Enak kalau di-nggedabruskan di paper, begitu komentar sahabat-sahabat peneliti saya :) Njomplang sekali dengan kondisi industri yang selalu berpikir produk dan service, dengan deadline waktu yang sangat ketat dan penuh tekanan. Ditambah lagi, peneliti di universitas sudah sangat kelelahan dengan aktifitas mengajar di kelas, sehingga penelitian bagi mereka adalah bersifat part time. Tren SDM IT ke depan yang arahya membentuk para spesialis yang punya kemampuan verbal dan tulis (versatilist), plus dengan modal keseimbangan keunggulan defato (kreatifitas) dan dejure (degree, sertifikasi), menambah berat beban para akademisi dalam mendidik para mahasiswanya.
Saya tidak berusaha mengatasi masalah ini, karena mungkin memang tidak memungkinkan. Saya hanya mengusulkan empat cara menyikapi gap akademi-industri ini. Dua cara yang berwarna hijau dan biru mungkin biasa kita lakukan, dan sudah dilontarkan oleh banyak peneliti, meskipun saya beri sedikit strategi yang biasanya terlewat. Dua yang berwarna orange dan pink adalah tindak lanjut setelah dua pertama selesai.
1. PERBAIKI KURIKULUM DAN PROSES PENDIDIKAN
Jujur saja, kurikulum computing di Indonesia (versi APTIKOM) yang mengacu ke IEEE Computing Curricula 2005 sudah pada posisi yang benar. Meskipun ada proses adaptasi yang saya pikir agak keterlaluan, khususnya di jurusan dan prodi yang bernama Teknik Informatika. Teknik Informatika terlalu dipaksakan menerima tiga disiplin ilmu computing yang digariskan oleh IEEE, yaitu Computer Science, Software Engineering dan Information Technology. Saya pernah bahas di artikel tentang memilih jurusan computing. Mungkin perlu digarisbawahi bahwa jurusan Computer Science mendidik para scientist yang fasih berbicara konsep komputasi, jurusan Information Technology mendidik para network and telecommunication engineer, sedangkan Software Engineering adalah jurusan untuk para calon software engineer. Tentu sangat berat apabila semuanya dimampatkan ke satu jurusan bernama Teknik Informatika, akhirnya lulusan menjadi tidak jelas dan tidak fokus kompetensinya apa. Mari kita lihat sedikit tentang gambaran disiplin computing menurut IEEE Computing Curricula 2005.
Beberapa pemikiran saya lain berhubungan dengan perbaikan kurikulum dan proses pendidikan saya rangkumkan di bawah:
- Tidak ada satupun dari 5 disiplin ilmu computing diatas yang membolehkan atau mentoleransi ketidakmahiran mahasiswa dalam hal programming. Cek kembali gambar perbandingan penguasaan materi di artikel saya sebelumnya. Baik CE, IS, CS, IT dan SE mensyaratkan mutlak penguasaan bahasa pemrograman, grafik selalu menonjok ke tengah yaitu Software Method and Technologies. Jangan sampai dosen atau peneliti di kampus sampai mengatakan bahwa coding dan programming tidak wajib untuk salah satu jurusan atau prodi diatas, itu mencederai dunia kurikulum IT di Indonesia :)
- Fokuskan ke satu bahasa pemrograman utama dan gunakan untuk penugasan di setiap mata kuliah. Capai level mahir di satu bahasa programming baru berpindah ke bahasa pemrograman yang lain. Jangan buat mahasiswa pusing karena terlalu banyak bahasa pemrograman yang kita ajarkan ke mereka, sampai mereka akhirnya tidak memahami satupun :)
- Libatkan mahasiswa dalam berbagai project riil untuk melatih dan mendekatkan ilmu yang dipelajari ke dunia industri
- Bila memungkinkan hindari ujian bergaya multiple choice, arahkan ke develop project atau laporan analisa
- Didik mahasiswa untuk memiliki kemampuan verbal dan tulis:
- Wajibkan mahasiswa memiliki blog, tempat mereka menuliskan aktifitas, laporan tugas (project) dan tempat membina kemampuan tulis
- Laporan (project) harus dipresentasikan di depan kelas baik tim maupun individu, sarana membina kemampuan verbal
2. PERBAIKI KUALITAS PENELITIAN
Yang pertama perlu diungkapkan adalah, saya menemukan masalah dan isu penting yang terlewat pada penelitian mahasiswa dan dosen IT kita di Indonesia. Saya rangkumkan beberapa di bawah, dan juga saya sempat kupas di artikel tentang penelitian.
- Banyak penelitian dilakukan tanpa didasari masalah penelitian yang baik
- Banyak penelitian menghasilkan produk software tanpa pengukuran penelitian (seberapa jauh menyelesaikan masalah yang diset di depan)
- Penelitian terlalu muluk, padahal banyak masalah penelitian yang bisa diangkat dari sekitar kita
- Penelitian mahasiswa sering tidak terbimbing dan terkoordinasi dengan baik, dan tidak berdasar kepada core competence dosen (coba terapi Research-based University?)
Konsep research-based university akan saya jelaskan lengkap di artikel lain, tapi paling tidak unsur-unsur dasarnya adalah seperti dibawah.
- Lab Penelitian (LP) atau Research Group (RG) adalah unit kerja terkecil di universitas
- RG fokus ke satu topik utama penelitian (peminatan) yang ditentukan berdasarkan core competence dosen peneliti, contoh:
- Lab Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineer)
- Lab Multimedia (Game Technology, Multimedia Interaktif)
- Lab Jaringan (Network Engineer)
- RG dipimpin oleh seorang dosen dan memungkinkan beberapa dosen yang memiliki tema yang sama bergabung
- Pembimbingan langsung oleh dosen dan dilakukan meeting progress report pekanan
- RG adalah “tempat nongkrong/nginep/kumpul” mahasiswa tahun/semester terakhir dalam tema penelitian yang sama
- 6-12 bulan terakhir setiap mahasiswa masuk RG sesuai dengan topik penelitian yang diinginkan
- Penelitian mahasiswa yang sudah baik, diikutkan ke seminar atau conference baik lokal maupun internasional
Siapa yang diuntungkan dengan konsep research-based university?
- Siswa : Tidak bingung dan liar dalam menentukan judul penelitian. Juga memiliki pengalaman mengerjakan penelitian yang berkualitas
- Dosen : Memiliki tim (anggota RG) untuk mengerjakan project penelitian dan bahkan menyusun materi kuliah. Dosen juga akan terdongkrak jumah publikasi ilmiah (dari bimbingan skripsi mahasiswa)
- Universitas : Brand image terangkat, kalau hasil penelitian mau diopen-kan di internet, bisa terdongkrak rangking webometrics dan diakui sebagai research based university
Semua diuntungkan dan saya pikir sudah saatnya kita menuju ke research-based university. Untuk universitas yang masih senang dengan branding untuk mencari kuantitas jumlah mahasiswa, ayo agak sedikit kurangi. Mari arahkan dan alokasikan budget untuk menuju research-based university.
3. BE A TECHNOPRENEUR
Saya mengajak peneliti di dunia universitas dan akademi untuk mencoba menjadi technopreneur. Dengan menjadi technopreneur, kita akan belajar menganalisa kebutuhan pasar, mengerti apa permasalahan dalam membuat produk, memahami dengan baik bagaimana sebuah bisnis bergerak. Kemampuan dan kristalisasi keringat yang kita dapatkan dari menjadi technopreneur akan menjadi shock theraphy yang baik ketika kita melakukan penelitian. Penelitian kita akan juga membumi, mengikuti bagaimana pasar bergerak, dan kita secara tidak sadar juga akan men-drive mahasiswa bimbingan kita untuk mengambil tema penelitian yang dekat dengan industri. Saya pikir tren dan pola pikir seperti ini akan mendekatkan karakter dan mengurangi gap antara university dan industri. Ingat bahwa Jerry Yang, Larry Page dan Sergey Brin juga adalah berlatar belakang akademisi yang kental :) Penelitian Duo-Google, Brin dan Page, tentang software agent alias robot crawler menjadi nafas perusahaan Google, algoritma Page Rank juga adalah hasil penelitian yang dipatenkan atas nama Stanford University.
4. MARKETING YOURSELF
Saya mengajak para civitas akademia untuk mencoba memasarkan hasil penelitian kita, yang sebelumnya didahului dengan personal marketing and branding (marketing yourself). Mengenalkan, memasarkan dan melakukan image branding ini bukan hanya lewat event conference ilmiah, publikasi conference proceedings atau jurnal ilmiah. Tapi juga lewat tulisan populer, lewat tulisan ringan dengan menggunakan bahasa manusia yang baik dan benar, dengan mengandalkan media Internet dan blog sebagai sarana utamanya. Masyarakat dan industri di Indonesia tidak membaca prosiding dan jurnal ilmiah, mari kita sebagai peneliti ikhlash dan mengalah dengan mengurai penelitian kita dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan pahamnya masyarakat dan dunia industri, penelitian kita mungkin dengan mudah bisa mereka serap. Dan khusus untuk industri, siapa tahu ada kebutuhan industri yang ternyata match dengan hasil penelitian kita.
Satu kisah unik, bagaimana saya dulu melakukan penelitian tentang mengembangkan model motivasi komunitas untuk e-Learning. Ternyata kemudian laku saya jual dan terapkan sebagai strategi untuk penerapan eLearning di Merpati Airlines, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan beberapa Bank yang meminta saya sebagai konsultan dan implementor e-Learning di perusahaan mereka.!
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Mempersempit%20Gap%20antara%20Akademi%20dan%20Industri&&nomorurut_artikel=219
0 komentar :
Posting Komentar