Makalah Adab-Adab dan Kemaksiatan dalam Islam
Tugas Matakuliah Al Islam III
Prodi : Pendidikan Ekonomi
FKIP Universitas Muhammadiyah Metro
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan kita selaku manusia tidak lepas dari tatanan peri laku dan
kaidah-kaidah dalam berhubungan dengan sesama manusia. Terlebi selaku seorang Muslim kita memiliki
pedoman yang jelas dan lenkap. Pedoman tersebut adalah Al Quran dan As Sunnah /
Al Hadis. Segala aktifitas dari yang bangun tidur sampai kita berangkat tidur
ada didalam Al Quran dan As Sunnah. Karena kesempurnaan Al Quran dan As Sunnah
mampu menjawab permasalahan hidup sepanjang jaman.
Islam dikenal sangat simple, dalam
artian secara praktis aturan-aturan dalam Islam mampu di terapkan secara
langgsu. Juga sangat teliti, hingga masalah sekecil dapat di antisipasi dan
terselesaikan. Selain itu Islam juga sangat menjunjung hak-hak orang lain dan
masyarakat luas dengan harapan terjadi kemaslahatan umat.
Namum kadang kala dimasyarakat pada
saat ini tidak seluruhnya melakukan aktifitas sesuai syariah. Ada kalalanya
melakukan perbuatan yang dapat di benarkan oleh masyarakat lain namun tidak
dapat dibenarkan menurut pandangan Islam. Seperti sambung ayam dibeberapa
daerah di Indonesia di benarkan sebagai ritual adat. Ada pula seringkali kita
dalam bermuamalah melakukan tindak yang tidak disadari telah melukai hati
oranglain.
Pebuatan
yang baik dan sesuai denagan tatanan yang
berlaku serin kita kenal sebagai adab. Adapun segala perbuatan yang
dilakukan berupa penyimpanga-penyimpangan sering kita kenal sebagai maksiaat.
Adakalanya manusia yang sudah terbiasa melakukan perbuatan yang sesuai dengan
adab yang berlaku akan risau hatinya ketika melakukan perbuatan yang melanggar
dari norma yang berlaku di dalam masyarkat. Namum bagi orang yang sudah sering
melakukan tindakan maksiat tidak ada hambatan dari hati lantaran sudah terlanjur
banyak maksiat yang ia lakukan. Bila ada yang menegur dianggap sebagai angin
berlalu. Apa bila melakukan perbuatan yang beradap ada keganjalan kadang kala
ada perenungan. Jika hatinya tebuka untuk menerima kebenaran Allah pun akan
membukakan pintu hidayah untuk bertaubat. Namun jika hatinya suadah mengeras
tak mentup kemungkinan Allah akan menutup pintu hidayah.
Menurut Agussyafii : 2009 “Adab adalah satu istilah bahasa
Arab yang berarti adat kebiasaan. Kata ini menunjuk pada suatu kebiasaan,
etiket, pola tingkah laku yang dianggap sebagai model”. Sehingga sangat erat
kaitannya dengan tradisi yang dianggap baik oleh masyarakat. Dan ber kaitan
dengan persepakkan secara turun-temurun. Awalnya masyarakat yang dianggap
paling beradap adalah masyarakat pedesaan yang memegang teguh dengan tradisi.
Namun mulai berkembangnya kebudayaan kemodrn telah mengagumkan banyak manusia,
sehingga modrnisasi mampu menggeser nilai-nilai budaya tradisional.
Selama
dua abad petama setelah kemunculan Islam, istilah adab membawa implikasi makna
etika dan sosial. Kata dasar Ad mempunyai arti sesuatu yang mentakjubkan, atau
persiapan atau pesta. Adab dalam pengertian ini sama dengan kata latin
urbanitas, kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti masyarakat kota (Agusyafii:2009).
Kini makna adab semakin menyempit
kepada syariat-syariat agama. Dimana bukan sekedar kesahajaan yang mampu
tergeser pemikiran modrn yang lebih fleksibel menghadapi tantangan zaman. Bukan
pula kemegahan yang semu dimana kata modrn hanya menjawab permasalahan dalam
kurun waktu tertentu. Sehingga dengan mudahnya nilai-nilai modrn menjadi nilai
klasik lantaran muncul kemodrnan terbarukan. Yang kadangkala menimbulkan ekses
yang luarbiasa. Masyarakat membutukkan tatanan yang teratur sehingga keajegan
sosial dan masyarakat madani dapat terwujud. Harapan tersebut terletak pada
syareat Islam yang begitu memperhatikan nilai-nilai keilahian dalam menghadapi
tantangan zaman. Serta tidak sekedar memikirkan kemajuan namun keberlansungan
secara terus menerus.
Dengan
demikian adab sesuatu berarti sikap yang baik dari sesuatu tersebut. Bentuk
jamaknya adalah Ādāb al-Islam, dengan begitu, berarti pola perilaku yang baik
yang ditetapkan oleh Islam berdasarkan pada ajaran-ajarannya. Dalam pengertian
seperti inilah kata adab (Agussyafii:2009).
Ahlak
dan adab Islam tidaklah bersifat “tanpa sadar” seperti dalam pengertian di
atas. Adab dan kebiasaan-kebiasaan Islam itu berasal dari dua sumber utama
Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, perbuatan-perbuatan dan kata-kata Nabi serta
perintah-perintahnya yang tidak langsung. Oleh karena itu akhlak Islam itu
jelas berdasarkan pada wahyu Alloh SWT (Agussyafii:2009).
Sementara
itu kata maksiat menurut artikata.com
memiliki arti
sebagai “perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk,
dsb)” sedangkan kemaksiatan diartikan sebagai “hal-hal yg bersifat maksiat (yg
penuh dosa dsb)”.
Sehingga nampak
jelas kata adab dan maksiat memiliki korelasi dan orientasi arti kepada
tegak atau tidaknya ajaran-ajaran Islam. Apa bila syareat Allah mampu berjalan
sebagai mana mestinya maka akan terbetuk masyarakat beradab yang berakhlakul
karima. Dan apabila syareat Allah tidak dijalankan secara menyeluruh maka akan
muncul potensi-potensi pelanggaran terhadap kemapanan yang pada gilirannya
kemaksiatan mampu melaju menebus hikum-hukum manusia. Pada giliranya banyak
kemaksiaatan yang akan bermunculan yang akan memicu murka Allah sehingga
bencana dating beruntun silih berganti. Nauzubillah. Waullahuallam.
B.
Tujuan
Penulisan Makalah
·
Mahasiswa mampu memahami adab-adab yang sesuai
ajaran Islam;
·
Mahasiswa mapu memahami perbuatan maksiaat yang
harus dihindari;
·
Mahasiwa mampu menganalisis segala perilaku selama ini di masyarakat yang sesuai dengan
ajaran Islam dan kemaksiatan yang terjadi;
·
Mahasiswa dapat memilah tidakan yang beradap dan
yang maksiat;
·
Mahasiswa mampu memiliki kesadaran merealisasikan
adab-adab islam
·
Mahasiswa ada ketertarikan untuk menyerukan
adab-adab Islami bagi masyarakat luas
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan kali ini
akan diuraikan dua pokok pembahasan. Dimana apa bila
kita memahami adab maka kita akan mudah memahami kemaksiatan. Kedua sub bab
pembahasan dalam makalah kali ini sangat berkaitan. Dimana sub bab A lebih
menekankan kepada pengenalan adab dan sub bab B lebih kepada pencegahan.
Sehingga kita mampu menjalankan perintah
Allah dan mampu menjauhi larangan-Nya.
A.
Adab-Adab
dalam Islam
Adab-adab dalam Islam cakupanya sangat luas sekali. Untuk
itu dalam pembahasan kali ini akan ditik beratkan pada kebiasan yang sering
kita lakukan namun luput dari perhatian untuk menjadikan kita Muslim yang
Beradap. Pembahasan diawali dari berbicara. Dimana kita hanpir tidak dapat
lepas dari aktifitas berbicara. Kemudian selaku calon guru Ekonomi kita perlu
mengetahui cara mencari rizki yang sesuai dengan adab Islam. Kita juga tidak
lepas dari inyteraksi denagan masyarakat begitu banyak hal yang perlu kita
pahami.
Selain itu kita sering berdoa kadang kala berdoa tanpa mengunakan
landasan berpikit yang benar. Dan kemudian akan dibahas tentang adab mencari
Ilmu. Dimana kita perlu meluruskan niat dalam menuntun Ilmu.
1.
Adab
Berbicara
Tanpa kita menyadari terkadang ucapan-ucapan yang
terlontar terjun bebas melukai hati orang lain, dan lebih berbahaya tidak
sesuai dengan tuntunan Islam. Kita
terkadang tidakmentadari bila berbicara akan mendapat pertangung jawaban,
semakin banya berbica terlebih melenceng dan penuh kesesatan ssemakin banyak di
pertanggung jawabkan. Tentu kita perlu mempelajari pola kehidupan nabi muhamad
agar kita tidak terjebak kepada mengada ngada syariat.
Belajar dari sejarah kehidupan Rasulullah yang mulia dan dalam
penerapan ajaran Islam telah
sangat detail memperhatikan persoalan keummatan; Mulai dari urusan dapur sampai
urusan ketatanegaraan, telah
dijabarkan dalam kehidupan beliau sebagai Uswatun Hasanah (contoh tauladan) bagi kita semua (Ichsaneljufri:
2011 ).
Begitu pentingnya menjaga
lisan dalam sebuah hadis dijelaskan akan bahwa setiap perkataan yang kita
ucapkan akan dicatat sebagai amal ibadah bunyi hadis tersebu :
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang
diridhai ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan
demikian sehingga dicatat oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala keridhoan-NYA bagi orang
tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata
yang dimurkai ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak dikiranya akan demikian,
maka ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala mencatatnya yang demikian itu sampai hari
Kiamat.” (HR
Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Sehingga
kita perlu memperhatikan sebisah mungkin apa yang kita ucapkan sehingga
mendatangkan pahala bukan dosa. Adapun Keutaman menjaga lisan nabi saw orang
yang menjaga lisan akan mendapat jaminan surga. Hadis tersebut :
"Barangsiapa yang memberi
jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan
apa yang ada antara dua kakinya (kemaluannya) maka aku menjamin Surga
untuknya." (HR. Al-Bukhari).
Seorang
muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing,
mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan
memiliki dampak yang luar biasa. (Ichsaneljufri: 2011 ).
Begitu halus dampak dari perkatan orang
berbicara terkadang kita tidak mentadari apakah perkataan tersebut mendatandkan
dosa atau pahala, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa
keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya
beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang
membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia
menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari).
Yang terjadi kita bangga dengan perkataan kita tidak
peduli bedar atau salah. Padahal lisan menjadi tolak ukur anggota badan
berbuat. Seperti yang diuraiakan Ichsaneljufri: 2011 bahwa:
Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota
badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya
lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah
hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas
tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah
seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah
hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kemudian diperjelas lagi oleh Ichsaneljufri:
2011 bahwa : Berkata Baik Atau Diam
Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu
sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka
hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya
jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda : "Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR.
Al-Bukhari).
Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang
harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan
semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda: "… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap
langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah,
dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-Bukhari).
Dimana saat ini banyak sekali diantara kita yang gemar
membicarakan keburukan orang lain, berbicra berjam-jam tidak ada manfaatnya
(merumpi). Hanya sekedar mencari pembenaran bahwa anggapan kita bahwa orang
yang tidak kita suka adalah orang yang buruk. Kita tidak menyadari perbutan
kita akan mendatangkan murka Allah,
meskipun itu tidak mebongkar aib orang namun yang namanya merumpi lebih banyak
berkata yang tidak ada manfaatnya. Seperti dalam uraian Ichsaneljufri: 2011 tentang pendapat para Imam : Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila
wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk
beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi
disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh
tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak
bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.'
Adapula
anggapan bahwa mendengarkan pembicaraan orang yang merumpi tidak apa-apa
padahal termasuk dosa. Hal ini sesuai
dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam : "Cukuplah
seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Cukuplah seseorang itu telah berdusta,
jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya." (HR. Muslim).
Ketika
berbicara jauh kemana mana ada kalanya kita muncul kejengkelan terhadap teman,
kelompok ataupun keluarga membuat kita berkata kotor bahkan melakhat. Hal
tersebut tidak mencerminkan akhlak seorang muslim sebagaimana Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan,
Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda : "Seorang mukmin itu
bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan
kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan
mencaci, menggunjing dan sebagainya (Ichsaneljufri: 2011).
Kemudian karena kita terlalu
berambisi ingin meluruskan suatu perkara membuat kita hobi untuk berdebat.
Padahal sikap tersebut kurang baik dilakukan meskipun kita benar. Sepatutnya
perlu meluruskan niat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda : "Saya
adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang
meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang
yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi
bagi orang yang baik akh-laknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh
Al-Albani).
2.
Adab
Mencari Rizki
Allah telah menciptakan Bumi ini untuk memenuhi
segala kebutuhan manusia, dari sandang
pangan dan papan. Pemenuhan kebutuhan tersebut diraih melalui segala yang ada di bumi ini baik hewan, tumbuh-tumhan,
barang tambang, dan lain lain. Hakikatnya semua itu agar manusia mampu
menjalankan kewajibannya. Sebagaimana fiman
Firman Allah SWT:
Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan. (QS. al-Mulk:5).
Ayat diatas mengingatkan kita bahwa dunia ini sementara
dan kelak, manusia tidak akan hidup selamanya didunia, serta setelah kematian
berakhir begitu saja. Bukan berarti memenuhi kebuutuhan adalah duahal yang
berbeda namun sangat erat kaitanya. Sebagaimana fiman Firman Allah SWT: “Apabila telah
ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS.
Al Jumu’ah : 10).
Dalam ayat tersebut dijelaskan setelah kita shalat, kita
dianjurkan mencari karunia Allah. Kaena tidak sepatutnya kita berpangku tangan
dan hanya berdoa tapi harus berusaha juga. Ketika berkerjapun kita tetap menginat Allah sebanyak-bamyaknya.
Karena seberapa banyak kita berdoa tanpa disertai dengan usaha,
Allah tidak akan merubah keaadan suatu kaum. sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….. (QS.13/ ar-Raâd: 11)
Apa bila dilinkungannya sulit untuk mendapatkan sua
pekerjaan manusia dianjurkan untuk merantau. Namun merantau dalam Islam tidak
sekedar merantau tetapi hijrah dijalan Allah. Sebagai mana firman Allah SWT:
Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang
keluar dari rumahnya denagn maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya,
kemudian kematianmenimpanya (sebelum sampai ditempat yang dituju), maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisaâ:100).
Dijelaskan niat baik untuk berhijrahpun sudah dinilai
sebagai pahala. Tak dapat kita bayangkan berapa banyak pahala yang didapat
apabila kita melakukan usaha mencari rezeki dengan niat hijrah dijalan Allah.
Dalam sebuah hadis dijelaskan pedagang yang jujur telah dijanjikan mendapatkan
surga Darusalam tempat nabi, sidiqin dan suhada, Sebagai mana Rasulullah SAW
bersabda: Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para
nabi, siddiqin, dan syuhada. (HR
Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW memuji orang yang
mandiri yang mampu menenuhi kebutuhan dari ushanya sendiri bahwa: Makanan yang paling baik dimakan
oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri. (H.R. Bukhari).
Sangat jelas didalam
ajaran Islam mencari rezeki tidak sekedar memenuhi kebutuhan hidup namun juga merupakan sarana untuk beribadah.
Sehingga dalam mencari rezeki ada adab-adab yang akan mendatankan keridoan
Allah. Dan mampu menjauhkan diri merugikan orang lain dan azab dari Allah.
Adapun menurut Merza : 2010 adab mencari rizki dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Mencari Rezeki adalah Ibadah. Motivasi paling kuat dalam mencari rezeki
adalah menjadikannya sebagai amal ibadah. Firman Allah, “Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia
Allah sebanyak-banyaknya dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
(al-Jumu’ah [62]: 10).
b. Memelihara Iman. Modal awal seorang Muslim dalam berusaha adalah takwa.
Selain itu, ia juga menjadi kunci utama mendatangkan rezeki. Allah berfirman,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (ath-Thalaq
[65[: 2-3).
c. Mencari yang Halal. Sabda Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam (SAW), "Tak
akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba sampai ia ditanya tentang umurnya,
untuk apa dia habiskan? Tentang ilmunya, dalam hal apa dia amalkan? Tentang
hartanya, darimana dia dapatkan dan kemana ia nafkahkan? Dan tentang badannya,
dalam hal apa dia binasakan?" (Riwayat at-Tirmidzi, dishahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib).
d. Memperbanyak Istighfar dan Taubat. Firman Allah, "Maka Aku katakan
kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
memperbanyak harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun, dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (Nuh [71]: 10-12).
e. Rajin Berinfak. Ibnu Katsir menjelaskan: Betapapun sedikit harta yang kamu
infakkan pada perkara yang diperintahkan kepadamu, ataupun yang bersifat mubah
(boleh), niscaya Allah pasti menggantinya untukmu di dunia. Sedang di akhirat
kamu akan diberi pahala dan ganjaran. Firman Allah, “Dan barang apa saja yang
kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah sebaik-baik pemberi
rezeki.” (Saba’ [34]: 39).
f. Ringan Tangan kepada Orang Lemah. Memuliakan dan suka menolong orang lemah
menjadi salah satu rahasia dalam mencari rezeki. Sabda Nabi SAW, “Tidaklah
kalian mendapatkan pertolongan dan mendapatkan rezeki melainkan disebabkan
orang-orang lemah di antara kalian.” (Riwayat al-Bukhari).
g. Menyambung Tali Silaturahim. Sabda Rasulullah SAW, “Pelajarilah nasab-nasab
kalian agar kalian dapat menyambung tali silaturahim kerabat-kerabat kalian.
Karena sesungguhnya menyambung tali silaturahim itu adalah sebab kecintaan di
dalam keluarga, sebab berlimpahnya harta, dan sebab tertundanya ajal (umur
diperpanjang).” (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim).
Untuk membangun masyarakat yang sejahtra tentu dimulai
dari lingkup kecil. Perlu merangkul keuarga dekat agar terlepas dari
kesenjangan sosial kemudian saudara jauh tetangga dekat dan jauh. Dan
terwujutlah kerjasama dan persaudaraan yang utuh.
Umat Islam diminta bergandeng tangan menghilangkan semua
cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut
menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di
samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani
pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun,
realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang
diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya
(Merza : 2010).
h. Tidak Meminta-minta. Sabda Nabi SAW, “Salah seorang dari kalian senantiasa
meminta-minta sehingga dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada daging
di wajahnya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ajaran
Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang
keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan
kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus
didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah
SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk
mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan
harta sendiri.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras
kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu
Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbulâ
alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri. (Merza : 2010)
i. Bersikap Zuhud. Zuhud adalah obat penawar dari kegemerlapan dunia.
Dengannya, seorang Muslim dapat terjaga dari fitnah dunia. Wasiat Nabi SAW,
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang dalam
perjalanan.” (Riwayat al-Bukhari)
j.Tawakkal kepada Allah. Firman Allah, “Dan barang siapa yang bertawakkal
kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Ath-Thalaq [65]. Tawakkal di sini tak
bermakna berpangku tangan, tanpa mau berusaha sedikit pun.[masykur/tyn/infokito.net]
/ismenalghifary.
Ajaran Islam,
menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja
dan berusaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi
seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran
tawakkal yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti
meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki.
Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai kerja, seperti
salah satu haditsnya yang berbunyi, Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah
akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang
terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di
sore hari dengan perut kenyang.(Merza : 2010).
3.
Adab Bermasyarakat dalam Islam
Konsep bermasyarakat dalam Islam sangat unik menekankan
pada persaudaraan seiman. Dikenal dengan memperioritaskan saudara seiman
daripada yang berbeda agama. Penekanan utuk tolong-menolong sesame muslim
Meskipun berbeda suku bangsa. Dalam suatu riwayat Abu Hurairah RD yang berkata
yang Rasulullah SAW telah bersabda:
"Seorang muslim adalah saudara bagi orang muslim yang lainnya. dia
tidak mengkhianatinya, dia tidak membohonginya, dia tidak membiarkannya. Setiap
(kehormatan) orang muslim adalah haram (untuk dicerobohi) oleh orang muslim
yang lain: baik dari segi kehormatan maruahnya, hartanya, darahnya”.
Taqwa itu berada di sini (iaitu di dalam hati di dada). Memadailah jahat
seseorang itu dengan dia menghinakan saudaranya yang muslim" [riwayat Imam
at-Tarmizi]
(Hadith
yang lafaznya hampir sama, hanya dengan tambahan di awalnya 'jadilah
kamu hamba-hamba Allah,..."telah diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Imam an-Nawawi RH di dalam kitab al-Azkar telah memberi
komentar tentang pengajaran dari hadith ini dengan katanya: "Tiada yang
lebih besar ('azamu) manafaatnya dan lebih banyak
faedahnya daripada hadith ini".
Dari penjelasan hadis diatas dapat ditarik intsarii maknana bahwa sesamamuslim
:
Tidak
mengkhianati: khianat lawannya amanah. Bermaksud amanah dalam
perkataan dan amalan perbuatan terhadap sesama muslim.
Tidak membohonginya: tidak memberitahu dia dengan sesuatu yang menyalahi kenyataan
yang sebenar tanpa maslahah syar'ie.
Tidak membiarkan: tidak membiarkannya tanpa bantuan secara yang syar'ie. Membiarkan
seorang muslim begitu sahaja adalah perbuatan haram yang dahsyat semada dalam
perkara duniawi umpama kita mempunyai upaya untuk membantu orang yang kena
zalim, atau menghindari kezaliman yang ada pada seseorang, hendaklah dilakukan,
atau dalam perkara keagamaan seperti memberi nasihat agar ditinggalkan
perbuatan mengumpat dan mencerca muslim yang lain.
'Irdi (yang diterjemah oleh pencatit ini sebagai maruah) :disyarahkan
oleh Imam Muhammad Ibn 'Ijlan dalam Dalilu al-Falihin sebagai 'objek
yang menjadi tempat pujian dan cemuhan' . Atau dalam penggunaan Inggeris semasa
sebagai dignity,honor,
reputation. Nama baik, harga diri
yuhaqqir
akhahu al-muslim (menghina saudaranya yang muslim): Ini adalah
perbuatan dosa dan jenayah yang amat besar. Rasulullah SAW bersabda: "Tiada
masuk syurga bagi sesiapa yang ada dalam hatinya sebutir zarah dari rasa
takabbur". Orang yang memandang hina terhadap orang lain itu
sudah tentu merasa dirinya mempunyai kelebihan terhadap orang yang dihinanya.
Rasulullah SAW bersabda: Sesiapa yang ada padanya kezaliman terhadap
saudaranya, semada dari segi maruah, atau harta, maka hendaklah dia meminta
dihalalkan sebelum datangnya hari yang mana tiada (manafaat) dinar mahupun dirham,
sesungguhnya akan diambil dari (catitan) kebajikannya (untuk diberi kepada yang
dizaliminya), sekiranya dia tidak mempunyai kebajikan maka diambil dari
kejahatan orang yang dizalimi itu lalu ditambah kepada (catitan)kejahatannya
[Riwayat Imam Bukhari-Imam Muslim]
Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kamu siapakah orang muflis (bangkrap)
?
Lalu sahabat menjawab: Orang muflis pada kami adalah orang yang tidak
mempunyai dirham atau harta.
Rasulullah SAW bersabda: orang muflis daripada ummah-ku adalah orang
yang datang pada hari Qiyamah dengan (membawa pahala) sembahyang, puasa dan
zakat. Dia juga telah menyakiti perasaan orang ini, menuduh orang ini, memakan
harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, memukul orang ini, . Maka diambil
daripada catitan kebajikannya (untuk dibayar tebusan kezalimannya terhadap
orang yang dizaliminnya), apabila habis amalan kebajikannya sebelum selesai
melunaskan apa yang berkewajiban atasnya, maka diambil daripada catitan
kesalahan-kesalahan mereka dan dicampakkan ke atas (catitan)nya, kemudian
diapun dicampakkan ke dalam neraka [riwayat Imam Muslim]
Itulah
pondasi awal dab dalam bermasyarakat Adapun lebih jelasnya Zadalt : 2010 telah
menguraikan beberapa adab dalam masyarakat yang perlu kita perhatikan denga
beberapa penyuntingan dari penulis.
a. Adab bergaul dengan yang lebih muda
Kita senantiasa dianjurkan untuk bersikap
merendah, yakni bersifat sopan santun terhadap sesama orang mukmin, termasuk
terhadap orang-orang yang lebih muda dari pada kita.
Dalam Alqur’an Allah SWT berfirman :.
"Dan merendah dirilah kamu terhadap
orang-orang yang beriman. (QS Al
Hijr: 88)".
b. Adab bergaul dengan orang yang berbeda agama
Terhadap orang yang berbeda agama pun kita
dianjurkan untuk bergaul dengan baik karena pada dasarnya mereka pun sama-sama
manusia yang tidak berbeda dengan kita, asal kejadian mereka sama dengan kita.
Yang membedakan antara kita dengan orang-orang yang berlainan agama adalah
ketaqwaannya .
Firman Allah SWT :
"Hai manusia sesunguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kau disisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal".
Islam mengajarkan kkepada kita untuk
bertoleransi, yaitu menghormati keyakinan umat lain tanpa memaksa (QS.
Al-Baqarah : 256), kalau berdialog dengan mereka hendaklah dengan cara yang
baik (QS. Al-Ankabut : 46) tidak boleh menghina agama dan keyakinan mereka.
c. Adab berpakaian
Pakaian itu dikategorikan kedalam dua fungsi
yaitu :
1) Pakaian berfungsi sebagai penutup
aurat.
2) Sebagai perhiasan memperindah jasmani
manusia.
Firman Allah SWT :
"Hai anak adam sesungguhnya kami telah
menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan dan pakaian taqwa
yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat". (QS. Al A’raf : 26)
Dalam hal adab berpakaian bagi wanita telah
dijelaskan dalam Al-
Qur’an sebagai berikut:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mu’min : “Hendaklah mereka menggunakan
jilbabnya keseluruh tubuh yang demilian itu supaya mereka mudah untuk dikenali,
dan dengan itu merka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.
d. Adap
Memandang
Dalam masalah adab memandang dalam Alquran di
jelaskan sebagai berikut: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian
itu adalah kebaikan bagi mereka. Dan Allah maha mengetahui apa yang mereka
perbuat.
e. Adab Berbicara
Sebagai seorang mukmin hendaknya senantiasa
membicarakan hal-hal dan masalah-masalah yang membawa kemaslahatan hidup. Cara
kita berbicara juga dengan cara yang benar artinya menggunakan sopan santun
berbicara serta tidak boleh berbicara dihadapan lawan dengan cara ngotot.
f. Adab Makan dan Minum
Adab dalam makan antara lain :
1)
Bila hendak makan membaca Basmalah
2)
Tidak boleh makan dengan tangan kiri
3)
Tidak boleh makan minum sambil berdiri.
4)
Tidak boleh mencela makanan.
5)
Tidak boleh menghembus minuman.
Dalam surat al-hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa
manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal.
f. Pergaulan Muda-mudi
Mengucapkan dan menjawab salam
1) Islam mengajarkan kepada sesama muslim untuk
saling bertukar salam
apabila bertemu (QS. An-Nisa’ : 86 / bertamu
(QS. An-Nur : 27))
2) Salam yang diucapkan minimal adalah “assalamu’alaikum”
3) Mengucapkan salam hukumnya sunnah, tetapi menjawabnya wajib
4) Bila bertamu, yang mengucapkan salam
terlebih dahulu adalah yang bertamu
(QS. An-Nur : 27)
5) Salam tidak diucapakan hanya saat saling
bertemu, tapi tatkala mau berpisah
juga
6) Jika dalam rombongan, baik yang mengucapkan
dan maupun yang menjawab
salam boleh hanya salah seorang dari anggota
rombongan tersebut
7) Rasulullah saw melarang mengucapkan atau menjawab salam ahlul kitab.
9) Pria boleh mengucapkan salam kepada wanita dan begitu pula sebaliknya
Sementara yang perlu menjadi perhatian muda
mudi yang bukan muhrim adalah adab berjabatan tangan . Dalam suatu riwayat rasulullah
bersabda :
“ sungguh, jika kepala seorang di antara kamu
ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita
yang tidak halal baginya : (HR. Tabrani dan baihaqi)
Dari hadits tersebut seorang pria tidak boleh
berjabat tangna dengan seorang wanita yang bukan istri dan bukan mahramnya,
begitu pula sebaliknya. Salah satu hikamah larangan tersebut adalah sebagai
tindakan preventif dari perbuatan yang lebih besar dosanya, yaitu perzinahan.
Ada pula yang serin luput dari perhatian dalah Khalwah,
Khalwah adalah berdua-duaan antara pria
dan wanita yang tidak ada hubungan suami istri dan tidak pula mahram tanpa ada
orang ketiga dan larangan berkhalwah adalah tindakan pencegahan supaya tidak
terjatuh ke lembah dosa yang lebih dalam lagi.
4. Adab-Adab
Berdoa
Doa adalah perisai sekaligus senjata bagi kaum mukminin, yang bentengnya adalah
doa dan senjatanya tangisan. Karena meyakini bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Doa adalah inti ibadah dan tidak ada seorang pun yang
akan binasa bersama doa.” Biharul
Anwar, 93: 300)
Dengan sabdanya tersebut Rasulullah saw menghimpun semua nilai ketinggian dan
keagungan doa serta pengaruhnya ke dalam kehidupan.
Allah swt berfirman: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat/51: 56).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa tujuan kita
diwujudkan dan dihidupkan di dunia tiada lain kecuali untuk beribadah kepada
Allah swt. Sedangkan doa merupakan
inti ibadah.
Allah swt berfirman:
“Berdoalah kepada-Ku pasti Kuperkenankan doamu, sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk ke neraka
jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mukmin/40: 60).
Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa doa adalah
ibadah, dan menegaskan sebagai hal yang saling berlawanan: doa dan
kesombongan. Yakni:
Pertama: Menggambarkan pribadi seorang hamba yang mengenal Tuhannya, mengenal
dirinya sebagai hamba-Nya, dan menjalin hubungan kedekatan dengan Penciptanya.
Kedua: Menggambarkan sikap orang yang sombong, angkuh, keras kepala dank eras
hati, ahli maksiat dan durhaka, yang jauh berbeda dengan pengenalan yang
dirasakan oleh orang dalam sisi yang pertama.
Dengan makna tersebut menunjukkan bahwa orang yang menghina dan mengecilkan
peranan doa dalam kehidupan, maka ia digolongkan pada bagian
yang pertama. Orang yang sombong dan tidak mengenal dirinya. Padahal Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.”
Makna inilah yang dijelaskan oleh para kekasih Allah swt bahwa ibadah yang
paling utama adalah doa. Karena
tujuan ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan mengenal
hak-hak Allah dan kekuasaan-Nya yang tak akan tertandingi oleh siapapun; untuk
merendahkan diri di hadapan-Nya, karena meyakini bahwa segala kebutuhannya
berada di tangan Allah Pemilik malakut langit dan bumi, yang apabila Dia
memberi tak akan ada seorang pun yang mampu menghalangi, apabila Dia menahan
tak akan ada seorang pun yang mampu memberinya, dan tak ada seorang pun yang
kuasa menolak takdir-Nya kecuali Dia.
Tak ada ungkapan yang lebih jelas seperti makna yang diungkapkan di dalam doa. Karena
doa menjadi wasilah untuk mengungkapkan rasa sedih
dan duka, perasaan yang paling mendalam dan perjalanan batin, di waktu sekarang
dan mendatang.
Dalam kondisi dan keadaan seperti itulah wujud ibadah paling nampak dan paling
sempurna. Dan dalam kondisi itulah seorang hamba paling dicintai oleh Allah
swt. Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Amal yang paling dicintai oleh
Allah azza wa jalla adalah doa.”
Jika Islam memperhatikan suatu persoalan tertentu, maka pasti atasnya
ditetapkan adab adab dan syarat-syaratnya, agar manusia dapat memperoleh
kesempurnaannya dan memetik hasilnya.
Demikian juga dalam halnya persoalan doa, Islam
telah memperkenalkan kepada manusia adab-adabnya, agar mereka memperoleh
hasilnya, merasakan kebahagiaan dan kesejukan batin saat menghadap kepada Allah
swt sumber mata air kedamaian. Memperoleh keyakinan bahwa Dia Maha Mendengar
dan Maha Mengijabah. Beradab dan bertatakrama yang baik dan sopan di
hadapan-Nya sebagai seorang hamba yang membutuhkan-Nya, agar mendapat
perhatian-Nya.
Islam juga memperkenalkan kepada manusia tentang syarat-syaratnya, agar mereka
berdoa dengan doa yang
benar, dan doanya berpengaruh pada harapan dan kehidupannya, cepat atau lambat,
segera atau tetunda.
Adapun dalil dalil tentang adab berdoa cukup
banyak sekalai.
Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيًّا
“Yaitu
tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS.
Maryam: 3)
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
(Q“Berdoalah
kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.
Al-A’raf: 55)
Dari Aisyah -radhiallahu ‘anha- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ
“Rasulullah
-shallallahu wa’alaihi wa sallam- menyukai doa-doa yang singkat tapi padat
maknanya, dan meninggalkan selain itu.” (HR. Abu Daud no. 1482 dan
An-Nawawi berkata dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 431, “Sanadnya baik.”)
dia berkata: Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:tDari
Jabir bin Abdillah
لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا
عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللَّهِ
سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ
“Janganlah
kalian mendoakan keburukan pada diri kalian, jangan mendoakan keburukan pada
anak-anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan pada harta-harta kalian.
Jangan sampai doa kalian bertepatan dengan saat dikabulkannya doa dari Allah
lalu Dia akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Muslim no. 3009)
bahwa
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:tDari Abu
Hurairah
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ
اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ
الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Jika
salah seorang dari kalian berdoa maka janganlah sekali-kali dia berkata, “Ya
Allah ampunilah aku jika Engkau kehendaki.” Akan tetapi hendaklah dia
memastikan apa yang dia minta dan hendaknya dia memperbesar pengharapannya,
karena Allah -Azza wa Jalla- sama sekali tidak pernah menganggap besar sesuatu
yang Dia berikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6339 dan Muslim no. 2678)
Penjelasan ringkas:
Dari dalil-dalil di atas kita bisa memetik
beberapa perkara yang menjadi adab dalam berdoa:
a. Merendahkan suara ketika berdoa, tidak di dalam hati tapi
juga tidak menjaharkannya. Karena hal itu bisa membantu dia untuk khusyu’ dan
sekaligus menunjukkan ketundukan dan kerendahan dia di hadapan Allah Ta’ala.
b. Tadharru’ (merendah)
kepada Allah ketika berdoa kepada-Nya.
Ad-Dhara’ah (asal kata tadharru’, pent.) bermakna menghinakan diri, tunduk, dan
mengharap. Dikatakan: ضَرَعَ – يَضْرَعُ
– ضَرَاعَةُ
maknanya tunduk, menghinakan diri, dan
merendahkan diri. Dia tadharru’ kepada Allah maksudnya dia berharap
kepada-Nya. (Lihat Al-Mishbah Al-Munir hal. 361)
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah)
dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan
hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka
kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 42-42)
c. Menggunakan
kalimat-kalimat yang jami’ dalam berdoa, yakni yang lafazhnya ringkas akan
tetapi makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam lagi sangat luas.
Karenanya sudah sepantasnya seseorang itu berdoa dengan doa-doa yang Nabi
-alaihishshalatu wassalam- pernah berdoa dengannya, karena beliaulah pemilik al-jawami’
al-kalim (kata-kata yang jami’).
d. Tidak mendoakan kejelekan
untuk diri, keluarga, dan harta benda, karena mungkin saja Allah Ta’ala akan
mengabulkannya.
e. Memastikan permintaannya
dan tidak mengembalikannya kepada masyi`ah (kehendak) Allah, karena hal itu
menunjukkan kurang perhatiannya dia kepada doanya dan dia tidak terlalu
berharap kalau Allah akan mengabulkan doanya.
f. Betul-betul meminta (arab:
al-ilhah) kepada Allah ketika berdoa.
Al-Ilhah maknanya mendatangi sesuatu dan komitmen berada di atasnya. Dari Anas
bin Malik -radhiallahu anhu- secara marfu’, “Tetaplah kalian berdoa dengan ‘Wahai Yang Maha
Mulia lagi Maha Pemurah.” (HR. At-Tirmizi no. 3773-3775 dan
dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/172)
Maka hendaknya seorang hamba memperbanyak doa dan sering mengulang-ulanginya.
Dia terus-menerus meminta kepada Allah dengan mengulang-ulangi penyebutan
rububiah-Nya, uluhiah-Nya, serta nama-nama dan sifat-sifatNya. Itu merupakan
sebab terbesar dikabulkannya doa, sebagaimana yang Nabi -shallallahu alaihi
wasallam- sebutkan, “Seseorang yang letih dalam perjalanannya,
rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir, seraya dia menengadahkan kedua
tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku,” sampai
akhir hadits (HR. Muslim no. 1015) dan hadits ini menunjukkan adanya ilhah
dalam berdoa.
Berikut beberapa adab lainnya yang tidak tersebut
dalam semua dalil di atas:
a. Memulai dengan memuji Allah lalu bershalawat kepada Nabi
-shallallahu alaihi wasallam-, dan juga menutup doanya dengan ini.
Dari Fudhalah bin Ubaid -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- mendengar seorang lelaki berdoa di dalam shalatnya, dia tidak
memuji Allah Ta’ala dan juga tidak bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi
wasallam-. Maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Orang
ini tergesa-gesa,” kemudian beliau memanggil orang itu lalu beliau
berkata kepadanya atau kepada selainnya, “Jika salah seorang di antara kalian berdoa
maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia
bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu
baru dia berdoa sesukanya.” (HR. Abu Daud: 2/77 no. 1481 dan
At-Tirmizi: 5/516 no. 2477. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu
Daud no. 1314 dan Shahih At-Tirmizi no. 2767.)
b. Senantiasa berdoa kepada
Allah baik dalam keadaan lapang maupun dalam kesulitan.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang mau doanya dikabulkan oleh
Allah ketika dia mendapatkan syada`id (kesusahan) dan al-kurab (kesulitan), maka
hendaknya dia memperbanyak berdoa ketika dia lapang.” (HR.
At-Tirmizi no. 3382 dan Al-Hakim: 1/544. Hadits ini juga dinyatakan hasan oleh
Al-Albani dalam Shahih At-Tirmiz: 3/140, dan lihat juga Al-Ahadits Ash-Shahihah
no. 593)
c. Bertawassul kepada Allah
Ta’ala dengan salah satu atau semua jenis-jenis tawassul yang disyariatkan,
yaitu: Tawassul dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah, tawassul
dengan amalan saleh, dan tawassul dengan perantaraan doa orang saleh yang masih
hidup. Dan bukan di sini tempatnya membahas tentang tawassul.
d. Tidak memaksakan diri
dalam memperindah lafazh (sajak) doa (arab: as-saja’).
Dari Ibnu Abbas beliau berkata, “Jauhilah as-saja’ dalam berdoa, karena
sesungguhnya aku mendapati Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan para
sahabatnya tidak melakukan kecuali itu -yakni: Mereka tidak melakukan kecuali
menjauhi hal itu-.” (HR. Al-Bukhari no. 6337)
e. Mengulangi doa sebanyak
tiga kali. Dalil dalam masalah ini cukup banyak, di antaranya adalah ucapan
Ibnu Mas’ud bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengangkat kepalanya kemudian
berdoa, “Ya
Allah binasakanlah Quraisy,” sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari
no. 240 dan Muslim no. 1794)
f. Menghadap ke arah kiblat. Dari
Badr bin Zaid dia berkata, “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah
keluar ke lapangan ini untuk meminta hujan, maka beliau berdoa dan shalat
istisqa`, kemudian beliau menghadap ke kiblat dan membalik kain yang beliau
pakai.” (HR. Al-Bukhari -dan ini adalah lafazhnya- no. 6343)
g. Mengangkat kedua tangan
ketika berdoa.
Dari Salman -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi
wasallam- bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian -Tabaraka wa Ta’ala-
Maha Malu lagi Maha Pemurah kepada hamba-Nya, Dia malu kepada hamba-Nya tatkala
dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lantas Dia mengembalikannya dalam
keadaan kosong.” (HR. Abu Daud no. 1488, At-Tirmizi: 5/ 557, dan
selain keduanya. Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” dan dinyatakan shahih
oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/179)
h. Berwudhu sebelum berdoa,
jika memungkinkan.
bawa Rasulullah -shallallahu alaihitDalam
hadits Abu Musa Al-Asy’ari wasallam-
meminta air lalu berwudhu kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu
berdoa, “Ya
Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir.” (HR. Al-Bukhari: 5/101 dan
Muslim: 4/1943. Lihat Al-Fath: 8/42,)
i. Menangis ketika berdoa
karena takut kepada Allah Ta’ala.
j. Jika dia mendoakan orang
lain maka hendaknya dia mulai dengan mendoakan dirinya sendiri.
Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-
menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri
beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi: 5/463) Hanya saja juga telah
shahih riwayat bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- tidak memulai dengan
diri beliau sendiri, seperti pada doa beliau untuk Anas, Ibnu Abbas, dan ibunya
Ismail -radhiallahu anhum-. (Lihat: Syarh Shahih Muslim: 15/144, Fath Al-Bari:
1/218, dan Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmizi: 9/328)
k. Dan tentu saja dia tidak
meminta kecuali hanya kepada Allah semata.
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Saya pernah berada di
belakang Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu beliau bersabda, “Wahai
anak kecil, sesungguhnya saya akan mengajarkan kepadamu beberapa ucapan:
Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan
mendapati Dia berada di depanmu. Jika kamu meminta maka mintalah hanya kepada
Allah, dan jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan hanya kepada
Allah.” (HR. At-Tirmizi: 4/667 dan Ahmad: 1/293. Dinyatakan shahih
oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 2/309)
5.
Adab-Adab Mencari Ilmu
Adab mencari
ilmu mutlak diperlukan, bahkan para Salafush Shalih mendidik anak-anaknya
dengan adab sebelum membawanya ke majelis ilmu.
Berkata Sufyan
bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu tidak
mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar adab dan
dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah
bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari
adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab
terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah
fi Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga
berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”. (Sifatus-shofwah
Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib
Al-Baghdadi menyebutkan
sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata
bahwa Muhammad
bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu
mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah
bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-:
“Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun
banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa
demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada
seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum
muslimin.
Berkata Abu
Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-:
“Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti
jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
a.
Niat Ikhlas
Karena menuntut
ilmu adalah ibadah bahkan setinggi-tingginya ibadah kepada Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- maka kita wajib mengikhlaskan seluruh ibadah hanya
kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Allah
berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus“. (Al-Bayyinah:5)
b.
Beramal dengan Ilmu
Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- sangat marah kepada mereka-mereka yang berbicara tentang
ilmu sedangkan dia sendiri tidak beramal, Allah sebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan“. (As-Shaff:2-3)
c.
Sabar, Tidak Terburu-Buru
Seorang
pencari ilmu seringkali terbawa semangat, sehingga ia ingin dalam waktu yang
relatif singkat untuk mendapatkan semua bidang ilmu. Ingatlah bahwa ilmu ini
agama yang tidak terpisah dari amal, bukan hanya sekedar mengetahui dan
menghafal. Maka pelajarilah secara bertahap dari yang paling penting, kemudian
berikutnya, kemudian berikutnya. Tidak mungkin dengan belajar sebulan sampai
dua bulan ia menjadi ulama atau dalam waktu singkat dia menjadi pakar hadits
yang menshahihkan dan mendhoifkan hadits atau menjadi ahli fiqih yang dapat
mengumpulkan hukum dari ayat-ayat dan hadits.
Para
Ulama terdahulu mereka belajar dari sejak kecil sampai 30 tahun baru
mempelajari ilmu hadits apalagi meriwayatkan hadits.
B.
Kemaksiatan
Pada sub bab kemaksiatan kita akan membahas hal apa saja yang dapat
memicu seseorang melakukan kemaksiatan. Kemudian akibat bagi diri kita jika
melakukan maksiat. Kemudian akan diuraikan pencegahan melakukan maksiat.
1. Empat Pintu Masuk Maksiat
Sebagian besar maksiat itu terjadi pada seorang hamba melalui empat pintu.
Barang siapa yang bisa menjaga empat pintu tesebut maka berarti dia telah
menyelamatkan agamanya. Adapun empat pintu yang dimaksud adalah :
a. Al-Lahazhat
(Pandangan pertama)
Yang
satu ini bisa dikatakan sebagai "provokator" syahwat atau utusan
syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam menjaga
kemaluan, maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali niscaya
dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan. Di dalam Musnad
Imam Ahmad diriwayatkan dari Rasulullah : "Pandangan itu adalah panah
beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan pandangannya
dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan
di hatinya kelezatan sampai hari kiamat"
Pandangan
adalah asal muasal seluruh musibah yang menimpa manusia. Sebab, pandangan itu
akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu akan melahirkan
pikiran, dan pikiran itulah yang melairkan syahwat. dan dari syahwat itu akan
timbullah keinginan. Kemudian keinginan itu menjadi kuat dan berubah menjadi
niat yang bulat. Akhirnya, apa yang tadinya hanya melintas dalam pikiran
menjadi kenyataan dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang
menghalanginya. Oleh karenanya, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah, bahwa:
"Bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) adalah lebih ringan
dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya".
Pandangan yang dilepaskan begitu saja
dapat menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati yang terasa
dipanas-panasi. Pandangan yang dilakukan oleh seseorang itu merupakan anak
panah yang tidak pernah mengena pada sasaran yang dipandang, sementara anak
panah itu benar-benar mengena di hati orang yang memandang. Padahal, satu
pandangan yang dilarang itu dapat melukai hati dan dengan pandangan yang baru
berarti dia menoreh luka baru di atas luka lama. Namu ternyata derita yang
ditimbulkan oleh luka-luka itu tak bisa mencegahnya untuk kembali terus-menerus
melakukannya.
b. Al-Khatharat (Pikiran yang melintas di
benak)
Adapun
"Al-Khatharat" (pikiran yang melintas di benak) maka urusannya lebih
sulit. Di sinilah tempat dimulainya aktifitas yang baik ataupun yang buruk.
Dari sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah
menjadi tekad yang bulat. Maka, barang siapa yang mampu mengendalikan
pikiran-pikiran yang melintas di benaknya, niscaya dia akan mampu mengendalikan
diri dan menundukkan nafsunya. Namun orang yang tidak bisa mengendalikan
pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunyalah yang berbalik menguasainya. Dan
barang siapa yang menganggap remeh pikiran-pikiran yang melintas di benaknya,
maka tanpa dia inginkan, akan menyeretnya pada kebinasaan. Pikiran-pikiran itu
akan terus melintas di benak dan di dalam hatinya, sehingga akhirnya akan
menjadi angan-angan tanpa makna (palsu).
Angan-angan adalah sesuatu yang sangat
berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari ketidakmampuan sekaligus kemalasan, dan
melahirkan sikap lalai yang selanjutnya penderitaan dan penyesalan. Orang yang
hanya berangan-angan disebabkan karena dia tidak berhasil mendapatkan realita
yang diinginkan sebagai pelampiasannya, maka dia merubah gambaran realita yang
dia inginkan itu ke dalam hatinya, dia akan mendekap dan memeluknya erat-erat.
Selanjutnya dia akan merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang
dikhayalkan oleh pikirannya.
Padahal pikiran-pikiran serta ide-ide
orang yang berakal itu tidak akan keluar dari hal-hal yang paling mulia dan
paling bermanfaat, dan orientasinya hanya untuk Allah SWT dan kebahagiaan di
alam akhirat nanti.
c. Al-Lafazhat (Kata-kata atau Ucapan)
Adapun
tentang Al-Lafazhat (kata-kata atau ucapan), maka menjaga hal yang satu ini
adalah dengan cara mencegah keluarnya ucapan yang tidak bermanfaat dan tidak
bernilai dari lidah. Misalnya dengan tidak berbicara kecuali dalam hal yang
diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan menyangkut masalah
keagamaannya. Bila ingin bebicara, hendaklah seseorang melihat dulu apakah ada
manfaat dan keuntungannya atau tidak? Bila tidak ada keuntungannya, dia tahan
lidahnya untuk berbicara. Dan bila dimungkinkan ada keuntungannya, dia melihat
lagi apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata-kata
tersebut? Bila memang ada, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Sahabat Mu'adz bin Jabar pernah bertanya kepada Nabi
SAW tentang amal apa yang dapat memasukkannya ke dalam Jannah dan menjauhkannya
dari api Neraka. Lalu Nabi SAW memberitahukan tentang pokok, tiang dan puncak
yang paling tinggi dari amal tersebut, setelah itu beliau bersabda :
"Bagaimana kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu?" Dia
berkata: "Ya, Wahai Rasulullah". Lalu Nabi SAW memegang lidah beliau
sendiri dan berkata: "Jagalah olehmu yang satu ini". Maka Mu'adz
berkata: "Adakah kita bisa disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?"
Beliau menjawab : "Ibumu kehilangan engkau ya Mu'adz, tidaklah yang dapat
menyungkurkan banyak manusia diatas wajah mereka (ke Neraka) kecuali hasil
(ucapan) lidah-lidah mereka?" At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan
shahih".
Sungguh mengherankan, banyak orang yang
merasa mudah dalam menjaga dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya,
zina, mencuri, minum-minuman keras serta melihat pada apa yang diharamkan dan
lain sebagainya, namun merasa kesulitan dalam mengawasi gerak lidahnya,
sampai-sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal dengan
kesuhudan dan ibadahnya pun, juga masih berbicara dengan kalimat-kalimat yang
mengundang kemurkaan Allah SWT tanpa dia sadari, seperti berdusta, memfitnah,
dan lain-lain.
Para ulama salaf sebagian mereka ada
yang memperhitungkan dirinya, walau hanya sekedar mengucapkan: "Hari ini
panas dan hari ini dingin". seorang sahabat ada yang berkata pada
pembantunya: "Tolong ambilkan kain untuk kita bermain-main". Lalu dia
berkata. "Astaghfirullah, aku tidak pernah mengucapkan kata-kata kecuali
aku pasti mengendalikan dan mengekangnya, kata-kata yang tadi aku katakan
keluar dari lidahku
tanpa kendali dan tanpa kekang...."Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah memegang
lidahnya dan berkata: "Inilah yang memasukkan aku ke dalam berbagai
masalah".
Anggota tubuh manusia yang paling
mudah digerakkan adalah lidah, dan dia juga yang paling berbahaya pada manusia
itu sendiri.... Seharusnya kita selalu memperhatikan sebuah hadits Nabi dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah : "Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir bila dia menyaksikan suatu perkara
maka hendaklah dia mengatakan yang baik-baik atau diam saja".
d. Al-Khathawat (Langkah Nyata Untuk
sebuah Perbuatan)
Adapun
tentang Al-Khathawat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan), hal ini
bisa dicegah dengan komitmen seorang hamba untuk tidak menggerakkan
kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala-Nya,
bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka mengurungkan
langkah tersebut tentu lebih baik baginya. Dan sebenarnya bisa saja seseorang
memperoleh pahala dari setiap perbuatan mubah yamg dilakukannya dengan cara
meniatkannya untuk Allah SWT, dengan demikian maka Insya Allah seluruh
langkahnya akan bernilai ibadah.
2. Pengaruh Maksiat Bagi Diri
Kali ini saya akan menyajikan tulisan yang saya
kutip (dengan sedikit penyesuaian redaksi bahasa tentunya) dari kitab ad-Daa’
wa ad-Dawaa’ (الداء والدواء)
karya Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah. Kitab ini banyak membahas
tentang penyakit hati dan obatnya, salah satunya adalah tentang pengaruh
maksiat yang bisa dirasakan oleh seseorang yang melakukannya. Apa saja pengaruh
maksiat bagi diri? Berikut yang tertulis di kitab ad-Daa’ wa ad-Dawaa’.
a. Menghalangi Ilmu (حرمان العلم)
Ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah di
dalam hati, sedangkan maksiat memadamkan cahaya tersebut.
Imam as-Syafi’i duduk di depan Imam Malik. Dia
membacakan sesuatu yang membuat Imam Malik kagum. Imam Malik sangat mengagumi
kecepatannya dalam menangkap pelajaran, kecerdasannya, dan pemahamannya yang
sempurna. Imam Malik berkata, “Aku melihat, Allah telah meletakkan cahaya dalam
hatimu. Jangan padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat (إني أرى الله قد
ألقى على قلبك نورا، فلا تطفئه بظلمة المعصية)”.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Saya mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada
Waki’ (شكوت
إلى وكيع سوء حفظي);
Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat (فأرشدني إلى ترك
المعاصي);
Ia berkata, ‘ketahuilah bahwa ilmu itu adalah
keutamaan, (وقال اعلم بأن العلم فضل);
Dan keutamaan dari Allah tidak diberikan kepada
pelaku maksiat’ (وفضل الله لا يؤتاه عاصي).”
b. Menghalangi Rezeki (حرمان الرزق)
Dalam Musnad dikatakan, “Sesungguhnya
seorang hamba tidak mendapatkan rezeki karena dosa yang dikerjakannya (إن العبد ليحرم
الرزق بالذنب يصيبه).”
Taqwa kepada Allah dapat mendatangkan rezeki,
sementara meninggalkan ketaqwaan bisa mendatangkan kefakiran dan kemiskinan.
c. Menimbulkan Keresahan dalam Hati Antara
Dirinya dengan Allah (وحشة يجدها العاصي في قلبه بينه وبين الله)
Karena keresahan ini, ia tak mendapatkan
kenikmatan asasi. Kenikmatan-kenikmatan dunia dan seisinya tidak akan mampu
mengatasi keresahan dalam hati. Namun, keresahan ini hanya dirasakan oleh orang
yang hatinya masih hidup. Orang yang mati tidak dapat merasakan sakit yang ditimbulkan
oleh luka.
d. Menimbulkan Keresahan Ketika Dirinya Bersama
dengan Orang Lain, Terutama Bersama Orang-orang yang Baik (الوحشة التي
تحصل له بينه وبين الناس، ولاسيما أهل الخير منهم)
Orang yang resah hatinya akan menjauhkan diri
dari lingkungan yang baik. Ia tak mendapatkan manfaat dari orang-orang yang
baik. Dan ia akan mendekati kelompok setan (حزب الشيطان),
sekaligus semakin menjauh dari kelompok orang-orang yang dekat dengan Allah (حزب الرحمن).
Ini akan terus terjadi dan semakin parah, kecuali ia memilih meninggalkan
maksiat.
e. Mendatangkan Kesulitan dalam
Urusan-urusannya (تعسير أموره عليه)
Kemaksiatan menjadikan seseorang menjumpai
banyak kesulitan. Ia tak menemukan jalan pemecahan atau jalan pemecahan
tersebut sangat sulit didapatkan. Orang yang bertaqwa kepada Allah akan
mendapatkan keringanan, sedangkan orang yang tidak bertaqwa akan mendapatkan
kesulitan dari Allah dalam setiap urusannya.
f. Menimbulkan Kegelapan dalam Hati (ظلمة يجدها في
قلبه)
Kegelapan dalam hati akan dirasakan oleh seseorang
seperti gelapnya malam. Kegelapan di dalam hati akibat maksiat laksana
kegelapan indrawi yang menutupi penglihatan matanya. Ketaatan adalah cahaya,
dan kemaksiatan adalah kegelapan. Setiap kali kegelapan menguat, semakin
bingunglah ia hingga jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan dan hal-hal yang
membinasakan, dan ia tidak merasakan hal itu.
‘Abdullah ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Sesungguhnya untuk kebaikan ada sinar pada wajah, cahaya pada hati,
kelapangan pada rezeki, kekuatan pada badan, dan kecintaan dari hati banyak
orang terhadap dirinya. Adapun perbuatan buruk menimbulkan warna hitam pada
wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada badan, kekurangan rezeki,
dan rasa benci kepadanya di hati banyak orang. (إن للحسنة ضياء
في الوجه، ونورا في القلب، وسعة في الرزق، وقوة في البدن، ومحبة في قلوب الخلق،
وإن للسيئة سوادا في الوجه، وظلمة في القبر والقلب، ووهنا في البدن، ونقصا في
الرزق، وبغضة في قلوب الخلق).”
g. Melemahkan Hati dan Badan (توهن القلب
والبدن)
Kelemahan pada hati merupakan hal yang nyata.
Maksiat akan terus-menerus melemahkannya hingga habislah kehidupannya. Adapun
kelemahan pada badan, maka sesungguhnya kekuatan orang mukmin itu teletak pada
hati, jika hatinya kuat maka badannya pun akan menguat. Sedangkan orang faajir,
meskipun berbadan kuat, sesungguhnya ia paling lemah. Saat memerlukan kekuatan,
ia dikhianati oleh kekuatannya sendiri yang sangat diperlukannya.
Bayangkan kekuatan badan orang Persia dan
Romawi dapat mengelabui mereka, padahal kekuatan badan itulah yang paling mereka
andalkan. Mereka akhirnya dikalahkan oleh orang-orang yang beriman yang
memiliki kekuatan badan dan hati.
h. Menghalangi Ketaatan (حرمان الطاعة)
Hukuman bagi pendosa adalah terhalang dan
terputusnya ia dari semua jalan ketaatan kepada Allah. Padahal satu ketaatan
lebih baik dari dunia dan seisinya. Ibaratnya, seperti seseorang yang makan
suatu makanan yang mendatangkan penyakit yang akut, yang akhirnya mencegahnya
dari berbagai macam makanan yang lezat dan baik. Wallaahul musta’aan.
i. Mengurangi Umur dan Melenyapkan
Keberkahannya (تقصر العمر وتمحق بركته)
Sesungguhnya kebaikan menambah umur, sedangkan
kemaksiatan mengurangi umur. Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian
mengatakan bahwa maksud kurangnya umur orang yang suka berbuat maksiat adalah
hilangnya keberkahan umur tersebut. Ini benar dan merupakan bagian dari
pengaruh kemaksiatan bagi diri.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa maksiat
benar-benar akan mengurangi umur, sebagaimana berkurangnya rezeki. Ada juga
yang berpendapat bahwa maksudnya adalah kehidupan hati, oleh karena itu Allah
menyatakan orang kafir sebagai orang mati, bukan orang yang hidup. Sebagaimana
yang Ia sebutkan di surah an-Nahl ayat 21:
أموت غير أحياء
Kesimpulannya, bila seorang hamba berpaling
dari Allah ta’ala dan sibuk dengan kemaksiatan, lenyaplah kehidupannya yang
hakiki. Akhirnya ia menyesal dan berkata sebagaimana yang dinyatakan dalam
surah al-Fajr ayat 24:
يليتني قدمت لحياتي
3.
Sepuluh Nasehat Ibnu Qayyim
agar Sabar Menjauhi Maksiat
Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim
rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam
perbuatan maksiat:
Pertama,
hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan
hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam
rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah
sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi
menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.
Kedua, merasa
malu kepada Allah. Karena sesungguhnya
apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya
dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia
menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan
merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya…
Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa
melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah.
Ketiga,
senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan
baik-Nya kepadamu.
Apabila engkau berlimpah nikmat
maka
jagalah, karena maksiat
akan
membuat nikmat hilang dan lenyap
Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan
nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu
sendiri.
Keempat, merasa
takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima,
mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang
dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa
cinta.
Keenam, menjaga
kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab
perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela
meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…
Ketujuh, memiliki
kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya
akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa
muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang
menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus
buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari
bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar
kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera
berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya
untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas
akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat
apa-apa.
Kesembilan,
hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian.
Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul
dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar
yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan
lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk
diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang
bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya
baginya.
Kesepuluh, sebab
terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon
keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan
diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya.
Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat, dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun
melemah. Dan barang siapa yang menyangka
bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan
maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.
BAB III
KESIMPULAN
·
Setiap
Muslim harus menjagalisanya agar terhidar dari perilaku-perilaku yang dapat
mendatangkan murka Allah.
·
Mencari
rizki merupakan bagian dari ibadah, seorang Muslim harus bertawakal dalam
mencari rizki, berusaha tidak meminta-minta namun mencari rizki sendiri. Karena
pengeluaran yang digunakan akan lebih nikmat.
·
Kemaksiatan
dapat mengurangi keberkahan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.artikata.com/arti-339462-maksiat.htmlpenyakit
masyarakat memerlukan kesabaran dan ketekunan
http://ichsaneljufri.blogspot.com/2011/07/adab-berbicara-dalam-islam.html
http://ismenalghifary.blogspot.com/2010/06/adab-mencari-rezeki-yang-halal.html
http://ismenalghifary.blogspot.com/2010/06/adab-mencari-rezeki-yang-halal.html
http://www.scribd.com/doc/24976424/AKHLAK-BERMASYARAKAT
http://muqabalah2009.blogspot.com/2009/05/adab-bermasyarakat-dalam-islam.html
http://abufurqan.com/2011/10/07/pengaruh-maksiat-bagi-diri/
http://www.tokoku99.com
http://shalatdoa.blogspot.com
Pengajaran
Dari Hadith Riyadu as-Solihin
Hadith ke 13 Dari Bab Menitik-beratkan Kehormatan Orang Islam
http://al-atsariyyah.com/adab-adab-berdoa.html
http://anwarsyaebani.tripod.com/risalah-dakwah.html
http://al-atsariyyah.com/adab-adab-berdoa.html
Risalah
Dakwah MANHAJ SALAF edisi 1/th V 18 Muharram 1430H/16 Januari 2009M
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/adab-adab-mencari-ilmu/
http://anwarsyaebani.tripod.com/risalah-dakwah.html